Peneliti Mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], Sugiono Saputra, meminta masyarakat mewaspadai wabah virus ini dengan mengurangi, bahkan menghindari interaksi atau kontak langsung dengan satwa liar. Biarkan satwa liar berkembang di habitat alaminya.
“Fenomena ini harus menjadi momentum kesadaran kita semua, melindungi satwa liar di tempat aslinya,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Senin [24/2/2020].
Dia menjelaskan, satwa liar memang ada yang dikonsumsi sebagai sumber makanan atau obat. Tetapi, risiko biologis pengolahan hewan tersebut juga ada, yaitu transfer virus [transmisi patogen].
Apalagi di Indonesia, kata Sugiono, sangat banyak kegiatan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan satwa liar. Misalnya, jual beli daging eksotis semacam kelelawar, ular, tikus, dan babi jelang Hari Perayaan Pengucapan Syukur di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Begitu juga masyarakat di Tanapuli, Sumatera Utara, yang sering menangkap kelelawar untuk dikosumsi dan dijual.
Sugiono menegaskan, trenggiling merupakan sumber virus baru corona karena kesamaan material genetik virus corona pada manusia yang terinfeksi, berdasarkan penelitian di Guangzhou, Tiongkok.
“Indikasi virus corona berasal dari kelelawar, melalui perantara salah satunya trenggiling. Artinya, kehidupan kita dekat sekali dengan satwa liar. Maka kewaspadaan harus ada,” ujarnya.
“Namun, kesamaan material genetik virus corona pada trenggiling bukan berarti menjadikannya hewan penyebab virus baru corona di Wuhan. Namun, trenggiling sebagai peratara virus yang berasal dari kelelawar,” ujarnya.
Dengan demikian, jual beli daging eksotis, penangkapan kelelawar, serta perburuan trenggiling perlu ditinjau kembali secara bertahap. Apalagi, kegiatan tersebut turun temurun. Terpenting adalah, memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat terhadap penyebaraan virus tersebut dari hewan liar.
“Kemudian, harus ada pengawasan berkelanjutan dari aspek ekologi, untuk kelestariannya di alam. Bahkan, perlu juga pengawasan mikrobiologi, terutama potensi penyebaran virus [potensial patogen] dari hewan,” lanjut Sugiono.
Bahkan, disarankan harus ada panduan biosekuriti, yang tujuannya menghindari penularan dan penyebaran penyakit.
“Panduan biosekuriti memang sangat penting, terutama dengan melakukan isolasi pada hewan sakit. Bahkan, hewan sakit harus ada aturan tidak boleh diperjualbelikan. Berikutnya, sanitasi atau kebersihan tempat penampungan dan pengolahan, serta pengaturan lalu lintas hewan yang keluar masuk pasar harus benar,” tegas dia.
Antisipasi
Melansir CNBC Indonesia, Pemerintah Indonesia resmi melarang impor hewan hidup dari Tiongkok, akibat wabah corona yang melanda negara tersebut. Importir dilarang mengimpor binatang hidup atau yang transit di Tiongkok. Larangan berlaku efektif 7 Februari 2020, sesuai Peraturan Menteri Perdagangan [Permendag] Nomor 10 Tahun 2020.
Jenis hewan yang dilarang adalah kuda, keledai, lembu, sapi, kerbau, babi, biri-biri, kambing, ayam, bebek, angsa, kalkun, serta binatang hidup menyusui.
Terhadap kebijakan tersebut, Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cahyo Rahmadi, meminta pemerintah juga fokus memantau interaksi dan jual beli satwa liar dalam negeri.
“Dalam konteks pemanfaatan satwa liar, sudah ada beberapa peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengatur hal ini. Termasuk, tata cara pemanfaatan jenis satwa, jumlah, dan daerah persebaran,” terangnya.
Meski begitu, menurut dia, di lapangan masih ada pemanfaatan yang tidak sesuai peraturan. Hal itu ditunjukkan dengan perdagangan ilegal di beberapa daerah.
Menurut Cahyo, sebagai upaya antisipasi, perlu langkah nyata mencegah penularan penyakit dari satwa liar ke manusia. Caranya, dengan pengendalian pemanfaatan, baik pembatasan maupun pelarangan.
Namun, upaya tersebut perlu landasan kuat dari sisi ilmiah dan kesehatan. Selain itu, upaya penyadartahuan kepada masyarakat untuk mengurangi konsumsi satwa liar perlu dilakukan. Terutama, di masa kritis begini.
“Penyadartahuan sudah dilakukan di beberapa tempat, lebih pada upaya pelestarian satwa liar dan fungsinya bagi ekosistem. Namun, dalam konteks penyadartahuan risiko penularan penyakit dari satwa liar ke manusia, perlu ditingkatkan lagi,” ujarnya.
Kewaspadaan itu, untuk menghindari terinfeksi coronavirus [SARS-CoV, MERS-CoV, COVID-19] yang diduga kuat bersumber dari satwa liar. “Salah satu cara paling mudah untuk mengurangi risikonya adalah, mengurangi interaksi dan tidak menggangu habitat alami satwa di alam. Bagaimanapun juga, satwa liar menyimpan berbagai jenis virus dan bakteri yang dapat berpotensi menular ke manusia,” tegasnya.
Pelarangan dari Tiongkok
Pemerintah Tiongkok, sebagaimana diberitakan South China Morning Post, resmi melarang perdagangan satwa liar, sejak 24 Februari 2020.
Yang Heqing, Wakil Direktur Kantor Hukum Ekonomi- bagian Komisi Urusan Legislatif Komite Tetap NPC – mengatakan, larangan konsumsi meliputi satwa liar dilindungi, satwa darat, dan satwa liar darat di peternakan. Larangan ini juga berlaku untuk perburuan, perdagangan, dan satwa liar darat untuk dimakan.
Menurut Yang, hewan akuatik, ternak, unggas, dan hewan lain yang telah lama dikembangbiakkan tidak termasuk dalam aturan ini. Sementara, pemanfaatan satwa liar untuk tujuan ilmiah dan medis, akan diizinkan namun manajemen fasilitasnya akan diperkuat.
“Akhirnya, larangan makan dan perdagangan satwa liar diterbitkan. Ini langkah besar dalam perlindungan satwa liar,” ungkap Zhou Haixiang, anggota Komite Nasional Manusia dan Biosfer Tiongkok, kelompok perlindungan lingkungan.
Terhadap langkah tersebut, TRAFFIC mengapresiasi langkah-langkah tegas yang dilakukan Pemerintah Tiongkok, demi mengurangi risiko penularan penyakit yang timbul akibat perdagangan hewan liar.
“Kami berharap, adanya penegakan hukum yang mengatur masalah impor dan pasar, guna mengatasi ancaman konservasi kritis ini. Terutama, terhadap spesies satwa liar yang menderita akibat perdagangan ilegal dan tidak berkelanjutan,” ujar Steven Broad, Direktur Eksekutif TRAFFIC.
Korban meninggal akibat virus corona [COVID-19], hingga Sabtu [29 Februari 2020] siang, mencapai 2.923 orang. Jumlah yang terinfeksi, sebagaimana dikutip South China Morning Post, mencapai 85.178 kasus dan yang sembuh sebanyak 39.332 pasien. Virus ini bahkan telah mewabah ke 59 negara. Organisasi Kesehatan Dunia [World Health Organization/WHO] telah memberi peringatan kepada negara-negara di dunia untuk mempersiapkan diri terhadap persebaran virus mematikan ini.