Dimana karena keseimbangan alam kita terganggu akibat pola hidup manusia juga yang tidak baik, yang hal itu menyebabkan longsor dan banjir dimana-mana.
Dalam perubahan iklim ini tentu peran semua pihak apa lagi pemerintah dibutuhkan, kemudian masyarakat dan tidak kalah pentingnya peran kalangan anak muda dalam menjaga bumi, demi keberlanjutannya.
Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi way Seputih (YKWS), Febrilia Ekawati mengaku, sejauh ini dirasakan bersama siklus hidrologi keseimbangan sudah mulai terganggu, seperti curah hujan makin tinggi, gelombang tinggi di laut juga semakin sering. Bahkan, banjir rob di kawasan pesisir semakin sering kemudian banjir di mana-mana dan juga tak terlepas kekeringan.
“Nah terus apa yang bisa kawan-kawan generasi muda ini lakukan, yaitu adaptasi dan mitigasi perubahan iklim perlu digencarkan kembali,” ujar Febrilia, saat diskusi publik, di wood Steirs, Jumat (18/11/2022).
Karena jelasnya, berbicara adaptasi ketika terjadi bencana bagaimana tetap survive. Misalnya, terjadi banjir pasti terganggu sumber air yang ada di rumah.
“Maka, kita harus punya cadangan air yang bisa kita manfaatkan. Misalnya, memanen air hujan yang bisa kita gunakan,” lanjutnya.
Selain itu, anak muda juga sekarang mulailah mengurangi penggunaan plastik karena proses produksi industrinya itu menyumbang CO2.
Kemudian, terkait dengan mitigasi perubahan iklim ini kawan-kawan muda terutama pemahamannya tentang iklim harus lebih digali.
Seperti yang diajarkan oleh orang terdahulu bagaimana rumah itu dibuat panggung, lalu membangun lumbung-lumbung pangan dan juga bisa memanfaatkan pekarangan rumah untuk ditanami sayuran.
“Karena, itu dalam rangka untuk memitigasi terjadinya bencana atau pada saat musim paceklik,” ungkap Febrilia.
Selanjutnya kata Febri, dalam konteks dengan air sanitasi dan kebersihan, sebagai contoh kemarin kejadian banjir di Lampung Selatan yang juga merusak infrastruktur sanitasi yang ada di rumah tangga, yang kemudian cadangan air bersih mereka juga tercemar berbagai material banjir dan akibatnya membuat penyakit berbasis lingkungan.
“Nah ini yang bagaimana caranya lagi kita berupaya untuk lebih ramah lingkungan. Kalau di halamannya masih ada lahan yang cukup tanami pohon, kemudian kita bisa membuat biopori untuk setidaknya hal-hal kecil yang bisa kita lakukan ya mari bersama-sama kita lakukan,” ajaknya.
Sementara Project Field Officer SNV, Iffah Rachmi menambahkan, masalah air ialah sangat urgensi, artinya sanitasi yang aman itu mendesak.
Seperti halnya kondisi di sanitasi di Kota Bandar Lampung yang menurut penelitian SNV pada tahun 2018. Dimana dalam kajian tersebut, sekitar 78 persen masyarakat Bandar Lampung tidak melakukan penyedotan septictank.
“Artinya belum dianggap prioritas, bagaimana peran kita menyosialisasi kepada masyarakat perihal ini, mulai dari toilet di sekolah, anti septiknya harus kedap dan ini harus didorong,” kata Rachmi.
Kemungkinan lanjutnya, sudah ada beberapa contoh sekolah ideal dengan toilet yang layak, artinya bagaimana pemerintah melakukan percepatan.
“Tapi toilet di Bandar Lampung secara garis besar belum layak, atau ideal. Karena masih banyak ketimpangan jumlah antara murid dengan jumlah toilet tidak berbanding,” jelasnya.
Kemudian, banyak sekolah air yang tidak tersedia. Misalnya seperti di Pulau Pasaran yang mana siswanya kalau ingin buang air harus pulang ke rumah.
“Toilet yang ideal untuk di sekolah yakni 25 banding 1. Jadi dibutuhkan 1 toilet untuk 25 murid yang ideal,” terangnya.
Hal itu juga tergantung ukurannya siapa, ada yang ukuran Kemendikbudristek dan internasional, ada yang 1:40 ada yang 1:25.
Sumber : https://kupastuntas.co/2022/11/18/peran-pemuda-atasi-ancaman-perubahan-iklim