Jamban dan sistem sanitasi baru telah mengubah nasib berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, namun bahaya akibat banjir dan kenaikan permukaan air laut masih mengintai.
Toilet sederhana dapat menyelamatkan nyawa. Namun, toilet tidak digunakan oleh 19 juta orang di Indonesia yang masih melakukan buang air besar sembarangan (BABS) di ladang, semak-semak, hutan, parit, jalan, sungai, atau tempat terbuka lainnya.
Tidak hanya merendahkan martabat, BABS turut menjadi sumber penularan penyakit seperti kolera, diare, dan disentri. Seperempat anak balita di Indonesia menderita diare, yang merupakan penyebab pertama kematian anak di negara ini.
Melalui program sanitasi pemerintah, kini semakin banyak keluarga memiliki akses kepada sarana sanitasi dan kebersihan dasar di rumah. Hasilnya, capaian kesehatan dan gizi anak pun semakin baik.
Akan tetapi, di seluruh negeri, dampak perubahan iklim terasa lebih sering dan lebih ekstrem. Banjir, kekeringan, dan kenaikan permukaan air laut mengancam sistem sanitasi, mulai dari toilet, hingga tangki septik, hingga instalasi pengolahan air limbah. Untuk menjaga masyarakat agar tetap sehat dan produktif, sistem ini harus dibuat lebih kuat dan tahan menghadapi perubahan iklim.
UNICEF/UN0353551/Ijazah
UNICEF/UN0353549/Ijazah
Pemandangan di sekitar Tlogopakis amat indah. Berada pada ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut, desa ini berada di dataran tinggi terpencil di Jawa Tengah dan dikelilingi oleh sawah dan pegunungan yang asri.
Akan tetapi, di balik panorama memukau, lingkungan desa tidak selalu aman dan sehat. Hingga baru-baru ini, banyak rumah tangga di Tlogopakis yang tidak memiliki jamban ataupun sarana sanitasi dasar. Akibatnya, sebagian warga melakukan BABS di saluran irigasi. Anak-anak di desa pun sering mengalami diare kronis karena bakteri tinja mencemari sumber-sumber air, sementara lalat mengontaminasi ladang dan sawah.
UNICEF/UN0353559/Ijazah
UNICEF/UN0353564/Ijazah
Berupaya mengurangi angka stunting anak, Pemerintah Indonesia menjadikan akses universal kepada sarana sanitasi sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah mulai melaksanakan program Sanitasi Desa atau Sandes. Didanai APBN, program ini membangun sarana sanitasi bagi masyarakat dan rumah tangga berpendapatan rendah dengan prioritas ibu hamil, balita, anak stunting, dan penyandang disabilitas.
Wahyu dan keluarganya adalah salah satu penerima program Sandes di Tlogopakis. Seperti banyak keluarga lain di Kabupaten Pekalongan, jamban baru di rumahnya, yang didapat melalui program itu, adalah juga jamban mereka yang pertama. Wahyu bercerita bahwa Rizki, putranya yang berusia 4 tahun, senang mencuci tangan dengan air mengalir dan kerap mencipratkan air ke wajahnya sendiri, sehingga membuat Wahyu turut tersenyum.
Eni dan suaminya, Kuswanto, juga membuat jamban dan sarana sanitasi di rumah mereka dengan bantuan program Sandes. Eni bekerja membuat gula jawa dan Kuswanto adalah buruh harian. Pendapatan mereka berdua nyaris tak cukup membiayai kebutuhan sehari-hari, sehingga jamban tidak pernah dapat mereka miliki.
“Kami tidak perlu lagi merasa malu karena jamban sudah tidak terletak di tempat terbuka,” kata Eni. “Dengan adanya jamban, kami merasa lebih nyaman untuk mandi dan buang air.”
UNICEF/UN0353511/Ijazah
UNICEF/UN0353537/Ijazah
Perubahan iklim yang semakin ekstrem menciptakan ancaman yang lebih besar terhadap sistem air dan sanitasi. Di desa Tegaldowo, yang terletak di dataran rendah jalur pantai utara Pulau Jawa, Kepala Desa Budi Juniadi ingat kejadian banjir tahun 2004 yang untuk pertama kali disebabkan oleh gelombang pasang. Menurutnya, sejak itu, Tegaldowo teratur mengalami genangan air. Sebabnya adalah kenaikan permukaan air laut karena pemanasan global dan penurunan muka tanah akibat ekstraksi air tanah yang perlahan menyebabkan erosi pesisir.
Pemerintah telah membangun dinding penahan di sepanjang pantai, namun air laut saat pasang masih masuk ke daratan dan menggenangi rumah-rumah penduduk. Air pun merusak sarana sanitasi dan menyebabkan sejumlah keluarga tidak bisa meneruskan perilaku kebersihan yang penting.
UNICEF/UN0353533/Ijazah
UNICEF/UN0353535/Ijazah
Rumah Muslimin adalah salah satu dari banyak rumah di Tegaldowo yang terendam air pasang selama waktu yang cukup lama. Selama dua tahun, ia dan keluarganya tidak bisa menggunakan jamban di rumah. Meski malu, mereka terpaksa melakukan BABS di sungai terdekat.
Tahun ini, melalui program sanitasi pemerintah, Muslimin mendapatkan jamban baru di rumahnya. Ia merasa bersyukur dan memastikan jamban selalu bersih. Untuk melindungi sarana ini dari banjir dan genangan, Muslimin menaikkan posisi jamban hingga 50 sentimeter lebih tinggi dari sebelumnya.
UNICEF/UN0353558/Ijazah
UNICEF/UN0353541/Ijazah
Rumah Rini Ratikasari masih kerap dilanda banjir. Jamban mereka sempat tergenang, menjadi keropos, dan akhirnya rusak sama sekali. Untuk mengatasi hal ini, sudah lima tahun terakhir Rini dan suaminya membuat fasilitas jamban sementara di luar rumah, kemudian membeli material bangunan untuk meninggikan lantai rumah mereka.
Pada Juli 2020, jamban baru tiba melalui program sanitasi pemerintah. Saat ini, Rini bisa bernapas lega karena Fika, putrinya yang berusia 3 tahun, memiliki tempat di dalam rumah untuk mencuci tangan dan menggosok gigi.
“Sejak ada toilet baru, kami merasa lebih bersih dan nyaman,” katanya.
UNICEF/UN0353864/Ijazah
UNICEF/UN0352562/Ose
UNICEF/UN0352563/Ose
Di Provinsi Jawa Barat, Kota Bekasi turut merasakan dampak perubahan iklim. Peristiwa cuaca ekstrem, penurunan muka tanah, dan polusi menyebabkan banjir yang lebih sering dan parah dalam setahun terakhir. Jamban dan tangki septik pun meluap, sehingga risiko persebaran penyakit menular semakin tinggi.
Beberapa bulan setelah peristiwa banjir, Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengelolaan Air Limbah Domestik (UPTD PALD) Kota Bekasi memberikan layanan penyedotan gratis untuk tangki septik dan sarana penampungan limbah domestik lainnya. Namun, karena banjir menutup akses ke banyak wilayah, cakupan layanan ini masih terbatas.
Untuk meningkatkan ketahanan layanan sanitasi, maka kegiatan pascabencana harus diikuti dengan upaya adaptasi yang proaktif untuk meminimalkan dampak banjir. Hal ini termasuk meningkatkan kekuatan infrastruktur, seperti membangun tangki septik yang lebih awet dan membuat sistem pengosongan tangki septik yang lebih adaptif sehingga tidak bergantung hanya pada truk penyedot limbah. Memfasilitasi akses kepada pendanaan untuk adaptasi infrastruktur sanitasi harus menjadi bagian dan semua rencana aksi untuk perubahan iklim.
Sumber : https://www.unicef.org/indonesia/id/stories/hari-toilet-sedunia-2020-sanitasi-aman-dan-berkelanjutan-di-tengah-iklim-yang-berubah