Pada masyarakat wilayah Kabupaten Gunung Kidul, air untuk kebutuhan domestik berasal dari air tanah dan air hujan.
Kabupaten Gunung Kidul juga termasuk dalam kawasan karst Gunung Sewu, sehingga identik dengan lingkungan yang kering di mana kondisi tanah banyak mengalami rekahan.
Meski demikian, kawasan karst memiliki potensi sumber air tanah yang melimpah. Air tanah tersebut terkonsentrasi pada lorong-lorong atau retakan yang ada di bawah tanah.
Salah satu keunggulan dari mata air karst adalah waktu tunda yang panjang antara hujan hingga keluar ke mata air sehingga beberapa mata air karst akan memiliki debit yang besar saat musim kemarau.
Kegiatan manusia dapat menyebabkan terganggunya sistem hidrologi serta penurunan kuantitas dan kualitas air.
“Kegiatan manusia seperti penambangan dan deforestasi akan menyebabkan jumlah air yang meresap menjadi semakin sedikit sedangkan kegiatan manusia seperti pertanian, pengelolaan sanitasi dan sebagainya akan menyebabkan penurunan kualitas air,” ujar Haryo Mojopahit selaku Chief Executive DMC Dompet Dhuafa.
*Mengerang Kekeringan*
Terdapat tiga dusun di Gunung Kidul yang mengalami musim kemarau panjang yakni: Dusun Gagam, Kelurahan Pengkol, Kecamatan Nglipar; Dusun Macanmati, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang; dan Dusun Kadiobo, Desa Grimulyo, Kecamatan Panggang.
Dusun-dusun ini acap kali mengalami musim kemarau panjang yang membuat bentang alamnya menjadi kecokelatan dan kelangkaan air bersih. Musim kemarau bisa berlangsung cukup panjang berkisar 5-9 bulan.
Saat hal itu terjadi, warga yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan peternak ini terpaksa harus merogoh kocek cukup dalam agar bisa membeli air bersih atau banyak yang sekadar bisa berharap menunggu bantuan dari lembaga maupun intansi.
Masing-masing dusun kebutuhan air bersih di dusun ini yaitu 8.700 kubik, sedangkan sumur bor permenit menghasilkan 10 liter dan perjamnya menghasilkan 600 liter, butuh waktu 15 jam untuk memenuhi kebutuhan air.
Jenis vegetasi yang ada di sekitar sumur tidak terlalu banyak dan belum merupakan jenis tanaman yang bisa menyaring maupun menyimpan air.
Sementara itu, warga Dusun Gagan tidak pernah menggunakan sumber air Pemanen Air Hujan (PAH) karena menganggap air hujan berbau, takut menjadi sakit dan alergi, serta ketiadaan penampungan dan pengelolaannya yang belum diketahui.
Kejadian luar biasa pernah terjadi di pedukuhan ini karena warga ramai-ramai terkena penyakit disentris, muntaber, dan beberapa penyakit lain yang terkait dengan ketersediaan air. Baru sekitar 10 tahun ini warga disosialisasikan mengenai PHBS untuk menekan laju penyakit-penyakit tersebut bisa berkurang.
Sedangkan warga Dusun Macanmati, pada saat musim penghujan, kebanyakan warga memanfaatkan air Penampungan Air Hujan (PAH) yang sudah secara gerenasi ke generasi terinstalasi di kediaman warga.
“Tahun lalu warga bisa memenuhi kebutuhan airnya melalui PAH karena hujan turun terus menerus. Namun di satu sisi harus dibayar dengan kemarau yang panjang,” jelas Purwanto selaku warga asal Dusun Macanmati.
Kemudian di Dusun Kadjobo telah memiliki instalasi penampungan air hujan. Penampungan berbentuk bak besar yang dibangun di sisi rumah dengan volume sekitar 5000 – 7000 liter.
Selain itu warga memiliki gua yang terdapat sumber mata air. Warga bisa mengakses sumber mata air ini. Namun sayangnya jika tidak dilengkapi dengan pendekatan konservasi, sumber mata air tersebut bisa terkuras menjadi bahaya laten pada di tahun-tahun mendatang.
Sumber : https://dmcdompetdhuafa.org/kekeringan-berkepanjangan-di-pedalaman-gunung-kidul/