Salah satu dampak bencana terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk dapat dilihat dari berbagai permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi. Bencana yang diikuti dengan pengungsian berpotensi menimbulkan masalah kesehatan yang sebenarnya diawali oleh masalah bidang/sektor lain. Bencana gempa bumi, banjir, longsor dan letusan gunung berapi, dalam jangka pendek dapat berdampak pada korban meninggal, korban cedera berat yang memerlukan perawatan intensif, peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan air (Pan American Health Organization, 2006). Timbulnya masalah kesehatan antara lain berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari perkembangbiakan beberapa jenis penyakit menular.
Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi korban bencana. Pengungsian tempat tinggal (shelter) yang ada sering tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan daya tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan menimbulkan masalah di bidang kesehatan. Sementara itu, pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering menemui banyak kendala akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat menimbulkan dampak lebih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001).
Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda-beda, antara lain tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera yang memerlukan perawatan medis, misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada bencana gempa bumi dibandingkan dengan kasus cedera akibat banjir dan gelombang pasang. Sebaliknya, bencana banjir yang terjadi dalam waktu relatif lama dapat menyebabkan kerusakan sistem sanitasi dan air bersih, serta menimbulkan potensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit-penyakit yang ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti diare dan leptospirosis. Terkait dengan bencana gempa bumi, selain dipengaruhi kekuatan gempa, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi banyak sedikitnya korban meninggal dan cedera akibat bencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada hari terjadinya gempa dan kepadatan penduduk (Pan American Health Organization, 2006).
Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi masyarakat terdampak. Dampak ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok penduduk rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 (2) UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: 1). Bayi, balita dan anak-anak; 2). Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3). Penyandang cacat; dan 4) Orang lanjut usia. Selain keempat kelompok penduduk tersebut, dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pemenuhan Kebutuhan Dasar ditambahkan ‘orang sakit’ sebagai bagian dari kelompok rentan dalam kondisi bencana. Upaya perlindungan tentunya perlu diprioritaskan pada kelompok rentan tersebut, mulai dari penyelamatan, evakuasi, pengamanan sampai dengan pelayanan kesehatan dan psikososial.
Identifikasi kelompok rentan pada situasi bencana menjadi salah satu hal yang penting untuk dilakukan. Penilaian cepat kesehatan (rapid health assessment) paska gempa bumi 27 Mei 2006 di Kabupaten Bantul, misalnya, dapat memetakan kelompok rentan serta masalah kesehatan dan risiko penyakit akibat bencana. Penilaian cepat yang dilakukan pada tanggal 15 Juni 2006 di lima kecamatan terpilih di wilayah Kabupaten Bantul (Pleret, Banguntapan, Jetis, Pundong dan Sewon) ini meliputi aspek keadaan umum dan lingkungan, derajat kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan kesehatan (http://bondankomunitas.blogspot.com). Hasil penilaian cepat terkait dengan kelompok rentan beserta permasalahan kesehatan yang dihadapi adalah permasalahan kecukupan gizi dijumpai pada kelompok penduduk rentan balita dan ibu hamil, sedangkan kondisi fisik yang memerlukan perhatian terutama dijumpai pada kelompok rentan ibu baru melahirkan, korban cedera, serta penduduk yang berada dalam kondisi tidak sehat.
Pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering tidak memadai. Hal ini terjadi antara lain akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan, terbatasnya dana operasional pelayanan di lapangan. Hasil penilaian cepat paska gempa Bantul 2006, misalnya, mencatat sebanyak 55,6 persen Puskesmas Induk dan Perawatan dari 27 unit yang ada di Kabupaten Bantul mengalami kerusakan berat, begitu juga dengan kondisi Puskesmas Pembantu (53,6 persen) serta Rumah Dinas Dokter dan Paramedis (64,8 persen). Bila tidak segera ditangani, kondisi tersebut tentunya dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk akibat bencana tersebut.
Tidak hanya fasilitas kesehatan yang rusak, bencana alam tidak jarang juga menimbulkan dampak langsung pada masyarakat di suatu wilayah yang menjadi korban. Pada kasus gempa Bantul 2006, sebagian besar (81,8 persen) rumah penduduk hancur, bahkan tidak ada rumah yang tidak rusak meskipun hanya rusak ringan (3,1 persen). Selain itu, 70,4 persen penduduk masih mengandalkan sumber air bersih dari sumur, namun ada sebagian kecil (4,8 persen) penduduk dengan kualitas fisik sumur yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Masih banyak masyarakat yang mengobati dirinya sendiri di rumah (30,2 persen) atau bahkan mendiamkan saja luka yang diderita (6,6 persen). Ketersediaan cadangan bahan makanan pokok masih bisa mencukupi kebutuhan keluarga untuk 14 hari, sedangkan bahan makanan lain masih bisa mencukupi untuk kebutuhan selama satu minggu, kecuali buah-buahan (3 hari). Hampir dua minggu paskagempa, sudah banyak lingkungan responden yang telah mendapatkan bantuan kesehatan dari berbagai instansi atau LSM, namun bantuan pengasapan (fogging) untuk mengurangi populasi nyamuk baru 47,6 persen, penyemprotan (spraying) untuk membunuh bibit penyakit berbahaya baru 20 persen, dan upaya pengolahan air hanya 21,9 persen.
Salah satu permasalahan kesehatan akibat bencana adalah meningkatnya potensi kejadian penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Bahkan, tidak jarang kejadian luar biasa (KLB) untuk beberapa penyakit menular tertentu, seperti KLB diare dan disentri yang dipengaruhi lingkungan dan sanitasi yang memburuk akibat bencana seperti banjir. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan keluhan yang yang paling banyak diderita pengungsi sepuluh jenis penyakit bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten Sleman. Data EHA – WHO Indonesia (2010) per 27 Oktober 2010 juga mencatat 91 korban bencana Merapi harus dirujuk ke RS Sardjito di Yogyakarta, sebagian besar diantaranya karena mengalami gangguan pernafasan dan/atau luka bakar.
Permasalahan kesehatan lingkungan dan sanitasi juga sering dijumpai pada kondisi bencana alam. Berbagai literatur menunjukkan bahwa sanitasi merupakan salah satu kebutuhan vital pada tahap awal setelah terjadinya bencana (The Sphere Project, 2011; Tekeli-Yesil, 2006). Kondisi lingkungan yang tidak higienis, persediaan air yang terbatas dan jamban yang tidak memadai, misalnya, seringkali menjadi penyebab korban bencana lebih rentan untuk mengalami kesakitan bahkan kematian akibat penyakit tertentu. Pengalaman bencana letusan Gunung Merapi pada tahun 2006 (USAID Indonesia – ESP, 2006) dan 2010 (EHA – WHO Indonesia, 2010; Forum PRB DIY, 2010; ACT Alliance, 2011; BNPB, 2010, http://www.ciptakarya.pu.go.id), gempa bumi di Pakistan (Amin dan Han, 2009) dan Iran (Pinera, Reed dan Njiru, 2005) pada tahun 2005, banjir di Bangladesh pada tahun 2004 (Shimi, Parvin, Biswas dan Shaw, 2010), serta gempa disertai tsunami di Indonesia (Widyastuti dkk, 2006) dan Srilanka (Fernando, Gunapala dan Jayantha, 2009) pada akhir 2004 menunjukkan beberapa masalah terkait kesehatan lingkungan dan sanitasi. Permasalahan tersebut termasuk terkait penilaian kebutuhan (assessment) yang tidak mudah dan cepat, ketersediaan dan kecukupan sarana, distribusi dan akses yang tidak merata, privasi dan kenyamanan korban bencana (khusunya kelompok perempuan) serta kurangnya kesadaran dan perilaku masyarakat terkait sanitasi pada kondisi darurat bencana.
Kesehatan reproduksi merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian, khususnya pada bencana yang berdampak kepada masyarakat dalam waktu relatif lama. Studi Hapsari dkk (2009) mengidentifkasi temuan menarik berkaitan dengan kebutuhan pelayanan keluarga berencana (KB) paskabencana gempa bumi di Bantul (Yogyakarta) pada tahun 2006. Satu tahun paskagempa, mereka yang menggunakan alat KB suntik dan implant cenderung menurun, sebaliknya mereka yang menggunakan pil KB dan metode pantang berkala cenderung meningkat. Studi ini juga menunjukkan bahwa prevalensi kehamilan tidak direncanakan lebih tinggi dijumpai pada mereka yang sulit mengakses pelayanan KB dibandingkan mereka yang tidak mengalami kendala. Oleh karena itu, peran penting petugas kesehatan diperlukan, tidak hanya untuk memberikan pelayanan KB pada situasi bencana, tetapi juga untuk mengedukasi pasangan untuk mencegah kejadian kehamilan yang tidak direncanakan.
Sumber : https://kependudukan.brin.go.id/kajian-kependudukan/dampak-bencana-terhadap-kesehatan-masyarakat/