Liputan6.com, Bandung – Sekitar 9,14 juta warga Jawa Barat masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS) berdasarkan data monitoring dan evaluasi Kementerian Kesehatan RI. Faktor kemiskinan ditengarai menjadi salah satu penyebab masih banyaknya masyarakat yang buang air besar di sungai.
Ujang Rohman (40) menunjukkan ada tiga titik pembuangan BAB, Jumat (13/11/2020) pekan lalu. Sebanyak 17 rumah yang terdiri dari 20 kepala keluarga di Kampung Cisanggarung, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, masih membuang limbah domestik termasuk tinja langsung ke sungai.
Pantauan Liputan6.com, ada sejumlah pipa saluran pembuangan yang bermuara ke Sungai Cisanggarung. Sungai tersebut berasal dari hulu Cikawari yang airnya mengalir melewati kawasan wisata Curug Batu Templek dan terus mengalir hingga ke Cisaranten dan Rancaoray di Gedebage.
Keberadaan Curug Batu Templek, tak dipungkiri menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal Kota Bandung. Setiap akhir pekannya, warga kota berduyun-duyun ke perbukitan di Desa Cikadut tersebut. Di sana banyak orang berswafoto dan menikmati aliran kali Cisanggarung.
“Dulu sih enggak kepikir orang kampung harus ngebuang tinja ke sungai itu akan berdampak masalah. Tinja itu kan kotoran, di sini itu kalau enggak buang ke lembah ya ke sungai,” kata Ujang.
Ia beranggapan jika warga belum memiliki pengetahuan terkait sanitasi.
“Kalau ke sungai rasanya enggak mengendap, ngalir. Pandangan saya sebagai orang bodoh mengalir itu bebas lah tidak ada masalah,” ujarnya.
Namun sejak 2016, warga di Kampung Cisanggarung sudah mulai mengenal tempat mandi, cuci, kakus (MCK) komunal yang sudah diinisiasi Yayasan Odesa Indonesia. Sebanyak tujuh MCK komunal didirikan di permukiman warga yang tinggal di perbukitan tersebut.
“Tapi karena saya sekarang bergerak di Odesa, saya pegang sanitasi. Ternyata (aliran sungai) itu ada dampak untuk orang-orang di bawah makanya saya perihatin orang kota main ke sini main air ternyata masih ada. Saya enggak nutupin diri sendiri kalau itu masalah saya. Saya sendiri juga pernah membuang ke bawah karena ketidaktahuan,” ujar Ujang.
Ujang mengaku bila tidak ada bantuan Odesa, sulit membuat septic tank sendiri. Begitu pula dengan warga yang masih BABS. Biaya adalah salah satu kendalanya. Jika lahan tidak cukup, biaya pembuatan septic tank jadi lebih besar.
“Membuat septic tank itu bukan biaya murah karena harus ada keramik kamar mandi yang dibongkar. MCK yang ada di sini sebenarnya sudah maksimal, cuma pembuangannya yang salah. Buat yang enggak ada pekarangan berarti harus dibikin di dalam rumah, di bawah kamar mandi. Makanya, untuk satu MCK komunal saja pengerjannya bisa sampai satu minggu,” tuturnya.
Bantaran sungai menjadi lokasi sasaran masyarakat untuk perilaku BABS. Tanpa disadari, bakteri-bakteri yang tercampur dengan air sungai akan mudah masuk ke dalam tubuh manusia terutama rentan pada anak sehingga menimbulkan risiko penyakit.
Simak Video Pilihan di Bawah Ini
https://www.vidio.com/embed/1705647-fenomena-embun-es-di-lahan-pertanian-kertasari-bandung?source=liputan6-regional&medium=embed&autoplay=true&player_only=true&mute=true&sticky=false&embed_position=article-embed2 dari 3 halaman
Sanitasi Adalah Persoalan HAM
Ketua Yayasan Odesa Indonesia Faiz Manshur mengatakan, pemerintah harus banyak membangun sanitasi untuk orang miskin. Menurutnya, Indonesia bukan saja terbelakang dalam urusan sanitasi di dunia, melainkan juga lambat dalam menjawab problem kemiskinan.
Dia mengemukakan data aktual yang diberikan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2020 dari website Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Di Indonesia sekarang ini, lanjut Faiz, dari 287,90 juta jiwa, terdapat 32,24 juta jiwa masih BABS.
Sedangkan, di Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 55,12 juta penduduk, terdapat lebih dari 9 juta jiwa warganya masih BABS. Adapun provinsi yang sudah tidak memperlihatkan data BABS hanya provinsi DI Yogyakarta.
“Dan kalau kita hubungkan dengan kemiskinan, masalah kesejahteraan akses air bersih dan perilaku hidup tak sehat paling dominan di dalamnya,” ucap Faiz.
Lebih lanjut Faiz menjelaskan, terdapat separuh lebih problem sanitasi di Indonesia ini berasal di Pulau Jawa karena terdapat 17 juta jiwa yang warganya masih BABS.
“Jumlah warga ini perlu diungkap terus karena sekarang persoalan sanitasi merupakan persoalan Hak Asasi Manusia. Pemerintah itu kalau bicara ke publik jangan hanya bicara sisa persentase. Itu bisa menghilangkan sikap empati kita pada rakyat,” kata dia.
Faiz mengatakan, angka satu persen bukn angka kecil. Sebab setiap satu persen di level kabupaten bisa menyangkut hidup puluhan ribu orang.
“Berapa pun persentasenya harus segera diselesaikan arah kerja pembangunan pemerintah harus memenuhi hak akses sanitasi,” ucapnya.
Menurut Faiz, masih banyak kepala daerah yang belum cakap mengambil peran dalam pembangunan. Adanya pembangunan sering tidak berkorelasi dengan masalah rakyat miskin.
“Ada dana desa, tapi sanitasi tidak cepat membaik. Ada dana UMKM, tapi secuil yang terealisasi dan sedikit pula yang mengubah ke arah perbaikan,” ujarnya.
Berdasarkan data yang dihimpun pihaknya, di Kecamatan Cimenyan, yang datanya sudah 90 persen warganya tidak BABS, tetapi angka rumah tangga yang BABS lebih dari 1.500 keluarga. Jika setiap keluarga jumlahnya empat orang, maka bisa jadi yang BABS mencapai 5-6 ribu orang.
Kabupaten Bandung sendiri menurut Faiz tidak boleh bangga dengan angka perubahan yang terjadi karena masih minim perubahannya. Sampai 2020 ini saja, dari jumlah penduduk 3,93 juta jiwa, terdapat 646,26 ribu jiwa masih BABS.
“Pemerintah boleh bangga kalau kemudian bisa membebaskan BABS dalam pada 2022. Pasalnya selama sepuluh tahun terakhir banyak kepala daerah yang tidak punya perhatian pada sanitasi buruk,” ucapnya.
Selain Kabupaten Bandung, kawasan Kota Bandung selama sepuluh tahun terakhir pemerintahan kotanya tidak memiliki terobosan khusus guna menjawab problem sanitasi. Data memperlihatkan, dari 2,25 juta jiwa, terdapat 716,35 ribu jiwa masih BABS.
Faiz menyatakan, saat ini pemerintah daerah terutama bupati dan wali kota harus lebih serius dalam memimpin gerakan pembebasan masyarakat dari kebiasaan buruk BABS.
Berdasarkan pengalaman organisasinya di berbagai perdesaan, banyak kepala desa atau lurah yang minim pengetahuan soal sanitasi dan tidak mau memikirkan masalah akses air bersih untuk warganya.
“Bupati atau wali kota itu mestinya bisa memimpin kades atau lurah. Apalagi sekarang sudah ada dana desa. Penting mendorong kades mengalokasikan dana desa untuk sanitasi,” ujarnya.3 dari 3 halaman
Capai Target
Sementara itu, Kepala Disperkimtan Kabupaten Bandung Erwin Rinaldi mengklaim target program sanitasi Disperkimtan Kabupaten Bandung sudah melampaui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2015-2020 yang menjadi amanat dari Indikator Kinerja Umum (IKU) dan Indikator Kinerja Daerah (IKD). Menurutnya, pencapaiannya sudah melebihi angka 82 persen.
“Sudah melampaui target yang ditetapkan. Bukan hanya sanitasi saja, tapi air bersih juga. Karena rata-ratanya di atas 80 persen. Kalau merujuk pada RPJMD 2019 yang belum direvisi mengharuskan 100 persen. Tapi kan itu tidak mungkin makanya sudah direvisi,” kata Erwin dikutip dari disperkimtan.bandungkab.go.id.
Sementara sisa target yang 17 persen, kata dia, menjadi sebuah gerakan saja. Kendati demikian, perlu diketahui jika angka 17 persen target dari program sanitasi tersebut bukanlah hitungan dari masyarakat yang BABS. Seperti BAB di sungai atau di kebun.
Besaran 17 persen ini, tambah dia, artinya yang tidak memiliki akses. Erwin mencontohkan, idealnya di dalam satu rumah terdapat satu kepala keluarga (KK) dan memiliki satu unit jamban. Namun, ada juga di satu rumah yang dihuni 3 KK. Artinya, yang dua KK itu yang tidak memiliki akses.
“Jadi jangan salah menafsirkan. Mereka tetap BAB di jamban. Tapi kalau diartikan mereka tidak punya akses. Karena masih menggunakan jamban yang sama, yang idealnya digunakan untuk satu KK,” ujar dia.
Sementara fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) memang masih belum terselesaikan semua. Kendati demikian, pembangunan MCK masih terus dikebut. “Sama juga artinya. Misal satu MCK untuk 20 KK dipakai 30 KK. Nah yang 10 KK ini juga tidak memiliki akses,” ucap dia.
Sumber : https://www.liputan6.com/regional/read/4412148/cerita-warga-bandung-sulit-buang-kebiasaan-bab-ke-sungai