Kelompok pemerhati lingkungan menggugat Gubernur yang ada di Pulau Jawa, karena dianggap telah gagal menyediakan sungai bersih bagi para warganya.
Pencemaran yang terjadi di sejumlah sungai di Pulau Jawa yang semakin mengkhawatirkan mendorong kelompok pemerhati lingkungan mengajukan gugatan terhadap tiga Gubernur di Pulau Jawa atas kegagalannya dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan.
Environmental Conservation Organization (Ecoton) bersama kelompok pemerhati lingkungan lainnya seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menggugat para gubernur yakni Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
“Kita menggugat ketiga Gubernur ini karena kita menganggap mereka lalai, membiarkan sungai-sungai kita, sungai penting di Jawa yang menjadi suplai irigasi bagi 50 persen stok pangan nasional dan juga bahan baku PDAM, di Solo, Jakarta, Surabaya, Sidoarjo, Gresik itu dibiarkan mengancam kesehatan masyarakat,” ujar Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi dalam telekonferensi pers, di Jakarta, Selasa (14/2).
“Maka kita menggugat tiga gubernur ini dengan alasan, mereka membiarkan, tidak mengelola sampah dengan baik dan membiarkan industri membuang limbah tanpa diolah,” tegas Prigi.
Dalam risetnya, Ecoton menemukan bahwa tiga sungai besar di Pulau Jawa tercemar sampah mikroplastik yang dapat membahayakan makhluk hidup.
Hasil penelitian yang dilakukan sejak Agustus 2021 hingga April 2022 di Sungai Brantas; Jawa Timur, Sungai Citarum; Jawa Barat, dan Sungai Bengawan Solo di Jawa Tengah menunjukkan banyak sampah plastik seperti kemasan kecil, kresek, sedotan, botol, popok yang ditemukan di ketiga area sungai tersebut. Semua sampah itu nantinya dapat terpecah menjadi mikroplastik.
“Jadi kita menguji di tiga sungai dan Kepulauan Seribu. Kita menemukan ada kandungan mikroplastik dari 20-126 partikel per 100 liter air. Jadi mikroplastik adalah serpihan plastik berukuran lebih kecil dari lima milimeter, yang dia beragam jenisnya ada fiber, foam, fragmen, tapi yang banyak ditemukan di Jawa adalah jenis fiber, sejenis benang yang berasal dari limbah domestik dan limbah dari pabrik tekstil. Kedua adalah jenis filamen dan fragmen, cuilan plastik,” ungkap Prigi.
Penemuan mikroplastik ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena setelah diteliti lebih dalam lagi ternyata dalam satu ekor ikan ditemukan ada lebih dari 200 partikel mikroplastik. Selain itu, pihaknya juga menemukan bahwa 25 spesies ikan di Jawa mengandung mikro plastik tersebut.
“Yang terpenting adalah ikan nila, yang kandungan mikro plastiknya paling banyak diantara ikan-ikan lainnya, mungkin disarankan untuk tidak mengkonsumsi ikan nila,” tuturnya.
Kontaminasi mikroplastik ini, lanjutnya juga sudah masuk ke dalam tubuh manusia. Hal ini didapat setelah pihaknya meneliti kotoran milik 102 warga yang hidupnya bergantung kepada sungai-sungai yang menjadi bahan penelitian. Dari sampel tinja 10 gram, ia menemukan rata-rata terdapat sekitar 17-20 partikel mikroplastik dalam tinja tersebut.
Ia menjelaskan, kandungan mikroplastik di dalam tubuh manusia tentunya berpotensi menimbulkan gangguan risiko kesehatan seperti pemicu kanker, diabetes, gangguan perkembangan otak, dan lain-lain.
Dengan berbagai hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa keadaan sungai di Jawa sangat mengkhawatirkan. Hal ini diperparah dengan masih belum optimalnya pemerintah daerah dalam mengelola sampah dan minimnya kesadaran dari masyarakat itu sendiri dalam menjaga kebersihan sungai dan lingkungan.
Sungai di Jakarta
Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta Suci Fitriya Tanjung mengatakan nasib sungai di di ibu kota tidak jauh berbeda dengan sungai yang ada di Pulau Jawa. Suci menjelaskan berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta tahun 2019-2020 yang melakukan uji coba di 120 titik sungai di Jakarta, ditemukan bahwa seluruh titik tersebut berada dalam fase pencemaran sedang hingga berat.
“Kalau 2014 bahkan masih ditemukan satu persen yang tercemar ringan, tapi saat ini sudah tidak ada sama sekali yang tercemar ringan, bahkan masuk ke dalam fase tercemar berat di 120 titik itu. Tercemarnya seperti apa? Tercemarnya ini, ditemukan ekoli tinja dan kemudian logam berat yang mengkontaminasi ikan-ikan di Jakarta,” ungkap Suci.
“Fakta sungai di Jakarta ini kalau kita mau merujuk pada pernyataannya Wagub DKI Jakarta, mengatakan bahwa sampah di Jakarta ini sudah 2,5 kali luas monas, artinya ini sampah-sampah di 13 sungai ini kalau menurut data yang kami kumpulkan itu sekitar 300-400 ton per hari. Jika situasinya hujan, itu bisa mencapai 7.000 ton per hari, ini yang diangkut dari 13 sungai di Jakarta. Kontribusinya beragam, 34 persen sampah itu mengalir di Ciliwung, selebihnya di sungai lain beragam prosentasenya,” jelasnya.
Proporsi sampah di Jakarta, menurut Suci, didominasi oleh limbah domestik yang berasal dari pemukiman warga yang mencapai 72,7 persen, kemudian disusul oleh limbah perkantoran sebanyak 17,3 persen, dan 9,9 persen sisanya merupakan limbah industri.
Program Pengolahan Sampah atau Daur Ulang dan Kebijakan Tidak Optimal
Suci mengakui bahwa pemerintah khususnya Pemprov DKI Jakarta telah memiliki banyak program dan kebijakan yang dilakukan baik itu dalam rangka mengurangi sampah plastik maupun dari segi pengolahan limbah atau daur ulang. Namun, banyak dari kebijakan atau program tersebut tidak bersinergi dengan baik, sehingga banyak yang tidak berlanjut.
“Dari mulai awal sekali kebijakan dan keresahan muncul terkait pencemaran di Jakarta, tetapi proyek atau programnya tidak punya skema besar, sehingga pelaksanaan yang sporadis di lapangan kemudian di tingkat teknis juga tidak dilakukan secara baik yang akhirnya menimbulkan problematika baru dan menimbulkan situasi yang tidak kunjung tuntas.
“Akhirnya kita perlu masyarakat khususnya untuk membangun pandangan yang kritis terhadap pemerintah untuk mengawal kerja-kerja. Saya sepakat bahwa pemenuhan hak masyarakat untuk kualitas lingkungan idup yang sehat itu harus dijamin oleh pemerintah,” jelas Suci.
Pendiri Ecoton Daru Setyorini mengungkapkan pencemaran sungai yang cukup parah ini terjadi karena kebijakan pengelolaan sungai dan pengendalian pencemaran masih sangat parsial sektoral. Selain itu, pemimpin daerah sering kali tidak memiliki kepemimpinan yang kuat dalam melakukan reformasi kebijakan pengelolaan sungai khususnya pengendalian pencemaran.
“Kalau kita belajar dari Singapura yang sudah melakukan pembenahan dalam sistem pengendalian pencemarannya dimulai sejak tahun 60-an disitu dilandasi dengan adanya komitmen political will yang kuat dan mereka konsisten menyusun rencana pengelolaan sungai yang jangka panjang. Dan itu diterjemahkan dalam program yang bertahap dan target yang terukur dan berkesinambungan. Jadi meskipun ada pergantian pimpinan politik, program ini terus dilanjutkan, tidak berubah,” pungkasnya. [gi/rs]
Sumber : https://www.voaindonesia.com/a/sungai-di-jawa-tercemar-aktivis-lingkungan-gugat-para-gubernur/6527377.html