Diare membunuh balita lebih banyak ketimbang AIDS atau malaria. Dana yang dikucurkan masih sedikit. Masih banyak yang meremehkan masalah sanitasi.
Ada sesuatu yang baru di kediaman keluarga Sabaria Lasse, 49 tahun, beberapa bulan belakangan ini. Dan, Sabaria sangat bersemangat jika ada tetangga yang menanyakannya. Barang baru itu tak lain sebuah kakus berukuran sekitar 2 meter persegi. WC separo tembok dan kayu itu terletak di sisi kanan kediaman Sabaria di Desa Hilizokhu, Kecamatan Lahewa, Nias. ”Kakus ini saya buat dengan biaya sendiri,” kata Sabaria, bangga.
Sabaria patut bangga. Sebelumnya, seperti warga lainnya, jika ingin buang hajat, ia lari ke semak-semak di belakang rumah. Atau, kalau ingin nyaman sedikit, harus ke ”toilet alami”, yakni sungai desa yang tak jauh dari rumahnya. Akibatnya, penyakit diare selalu menyerang desa Sabaria sepanjang tahun. Inilah salah satu yang membuat Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau IFRC merasa perlu turun tangan mengadakan sejumlah perbaikan dan pembangunan sarana sanitasi (lihat:Bagi-bagi Toilet).
”Masalah diare jangan dianggap enteng,” kata Nigel Ede, Kepala Kantor IFRC di Nias. Penyakit akibat masalah sanitasi, lanjut Nigel, dapat timbul di kota dan desa, tak peduli kaya atau miskin. Jika dibiarkan lama-lama, bisa timbul masalah serius. Lihat saja survei terakhir yang dilakukan WaterAid, LSM lingkungan yang bermarkas di London. Laporan berjudul “Fatal Neglect” alias “Ketidakpedulian yang Fatal”, yang terbit pada Mei lalu, itu menampilkan bagaimana diare dinobatkan sebagai pembunuh anak-anak nomor satu di seluruh dunia.
Diare disebutkan membunuh balita (anak usia di bawah lima tahun) lebih banyak ketimbang HIV/AIDS, TBC, dan malaria. Kondisinya makin miris setelah laporan itu juga memaparkan data biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi penyakit. Ternyata biaya yang dihabiskan untuk HIV/AIDS melebihi jumlah yang digunakan untuk program sanitasi dunia.
Contohnya, diare telah membunuh kurang lebih 1,8 juta balita di dunia, tetapi hanya menarik dana investasi global sekitar US$ 1,5 milyar pada periode 2004-2006. Bandingkan dengan dana yang dihabiskan untuk program HIV, yang mencapai US$ 10,8 milyar untuk angka kematian yang ”hanya” 300.000 balita pada periode yang sama (lihat: Tak Peduli Sanitasi).
WaterAid menyebut kondisi itu ”mengejutkan” dan ”tidak masuk akal”. Apa yang terjadi? Jawabannya simpel saja, salah satu penyakit yang timbul akibat masalah sanitasi adalah diare, ”tidak trendi” atau ”tidak cukup emosional” untuk membuat para petinggi politik atau lembaga donor internasional tergerak.
Nigel juga merasakan gejala itu. ”Perubahan ini memang terlihat sejak 1980-an, ketika AIDS muncul dan mewabah menjadi penyakit mematikan,” kata Nigel kepada wartawan Gatra Putri Mira Gayatri. Padahal, pada era itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa sempat mencanangkan periode sanitasi dunia.
”Sanitasi memang masalah klasik, tetapi sampai sekarang belum tertangani secara optimal,” kata Rachmat Witoelar, Menteri Negara Lingkungan Hidup. Rachmat juga melihat pendanaan program sanitasi di Indonesia masih kurang. ”Belum mencapai kondisi ideal sesuai dengan standar sanitasi yang baik,” katanya kepada wartawan Gatra Jefira Valianti.
Survei WaterAid itu klop dengan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2007, milik Departemen Kesehatan. Penyebab utama kematian balita adalah diare (31,4%). Tak mengherankan, diare mudah merajalela karena sanitasi yang buruk. ”Sanitasi di Indonesia berada dalam kondisi memprihatinkan,” kata Wan Alkadri, Direktur Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan. Bahkan mutunya makin menurun. Itu terlihat pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2007 tentang Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL).
Menurut Alkadri, terdapat peningkatan rumah tangga yang tidak memiliki SPAL, dari 25,8% (2004) menjadi 32,5% (2007). “Di pedesaan, rumah tangga yang tidak menggunakan SPAL hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan di perkotaan,” kata Alkadri. Dana lagi-lagi masih menjadi kendala. ”Investasi pemerintah di sektor sanitasi masih sangat rendah,” Alkadri menambahkan.
Data Departemen Pekerjaan Umum menunjukkan, jumlah investasi itu mencapai Rp 200 per orang setiap tahun. Padahal, idealnya, jumlah itu minimal Rp 47.000 per orang setiap tahun. ”Jika itu direalisasikan, maka penduduk Indonesia memiliki akses 100% terhadap sanitasi,” tutur Alkadri.
Melihat berbagai kondisi itulah, Koordinator Water & Sanitation Policy Formulation & Action Planning Project (Waspola), Sofyan Iskandar, menyatakan bahwa diare bisa saja menjadi bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu. ”Ia dapat sama bahayanya dengan penyakit HIV/AIDS,” kata Sofyan.
Apalagi, Sofyan melihat, akar masalah sanitasi tak hanya menyangkut dana, melainkan juga kesadaran dan pengetahuan masyarakat (lihat: 1001 Perkara Tinja). Misalnya, survei yang pernah dilakukan Waspola menunjukkan, masih banyak warga yang tidak tahu cara membuat septic tank yang benar. Umumnya mereka hanya membuat dinding septic tank. ”Padahal, bagian bawah juga harus ditembok. Kalau tidak, bisa celaka. Septic tank seperti itu tidak ada gunanya karena limbah dapat meresap ke tanah,” ujar Sofyan.
Selain itu, Sofyan juga prihatin dengan padatnya perumahan di perkotaan. Menurut ketentuan yang wajar, jarak antara tangki limbah dan sumur minimal 10 meter. ”Ketentuan jarak ini memang diikuti di rumah sendiri. Tapi mereka tak melihat jarak sumur dengan septic tank tetangga,” kata Sofyan.
Karena itulah, berbagai upaya perbaikan sistem sanitasi sangat diperlukan. Kementerian Lingkungan Hidup, misalnya, telah lama menjalankan berbagai program sanitasi lingkungan, seperti Prokasih (Program Kali Bersih) dan pemberian penghargaan Adipura bagi kota atau kabupaten yang dapat menjaga kebersihan.
Bagi Sofyan, yang lebih penting adalah menumbuhkan kesadaran dan pola pikir masyarakat akan sanitasi. Salah satu program yang kini digalakkan adalah STBM, yakni Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. STBM berintikan lima pilar perilaku higienis. Yakni stop BAB (buang air besar) sembarangan, selalu mencuci tangan, mengolah air minum dan makanan dengan baik, mengelola limbah, dan menangani sampah dengan aman. ”Itu dapat dilakukan di tingkat keluarga, kecamatan, hingga provinsi,” ujar Sofyan.
Sumber : http://www.ampl.or.id/digilib/read/sanitasi-tak-ada-dana-/22270