Masalah sanitasi di Indonesia masih menjadi perkara pelik yang berdampak besar terhadap kesehatan masyarakat serta keseimbangan lingkungan. Pembangunan sarana sanitasi yang layak masih relatif rendah dan tak sebanding dengan jumlah penduduk. Masalah ini barangkali akan terdengar sepele bagi masyarakat dengan persediaan air bersih cukup dan lingkungan yang sehat. Akan tetapi, di daerah-daerah terpencil yang jauh dari pengawasan kita, sanitasi yang buruk dapat berujung pada ancaman kematian.
Menurut World Health Organization, sanitasi dapat didefinisikan sebagai: upaya dalam penyediaan sarana dan pelayanan untuk pembuangan limbah yang berasal dari manusia, semisal urine dan feses. Selain itu, sanitasi juga bisa merujuk pada pemeliharaan kondisi yang bersih, pengelolaan sampah, dan pengolahan limbah cair.
Berdasarkan data dari UNICEF, terdapat beberapa isu penting terkait masalah sanitasi tersebut:
Sanitasi yang buruk menyumbang angka 88 persen pada kematian anak akibat diare di seluruh dunia. Bagi penderita anak-anak yang bertahan hidup, masalah diare tersebut merambah pada masalah gizi. Pada akhirnya, efek dari gizi buruk menghalangi anak-anak untuk beraktivitas, meraih potensi maksimal, dan berujung pada memburuknya kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. Tentu saja, dampak terbesarnya adalah menurunnya produktivitas suatu bangsa.
Di Indonesia, diare menjadi penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun. Menurut laporan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007, diare bertanggung jawab pada 31 persen kematian anak usia 1 bulan hingga 1 tahun, juga 25 persen pada anak berusia 1 hingga 4 tahun. Selain itu, tercatat persentase diare dari rumah tangga yang menggunakan sumur terbuka untuk air minum, 34 persen lebih tinggi daripada yang menggunakan air ledeng. Pada anak-anak dari keluarga yang membuang kotoran di sungai 66 persen lebih tinggi daripada yang menggunakan toilet pribadi.
Sering diabaikan pentingnya peran kebersihan. Padahal, kematian akibat penyakit diare bisa dicegah. Tidak hanya dengan perbaikan sistem sanitasi, tetapi juga dengan hal-hal sederhana. Misalnya, disiplin mencuci tangan menggunakan sabun antibakteri setiap kali selesai beraktivitas, dikaji dapat mengurangi risiko terserang diare hingga 47 persen.
Pada daerah-daerah kumuh perkotaan, sanitasi yang buruk lebih berisiko mendatangkan penyakit. Budaya kebersihan yang buruk, kepadatan penduduk, serta kontaminasi air oleh limbah, semakin memperparah risiko munculnya penyakit. Bukan hanya diare, tetapi juga penyakit lainnya yang berhubungan dengan kebersihan, seperti disentri, tipus, hepatitis, demam berdarah, dan kudis. Bahkan, penyakit pernapasan kronis dapat turut mengintai.
Praktik kebiasaan buruk di kalangan kurang berpendidikan, dapat memicu mewabahnya penyakit. Menurut studi UNICEF pada tahun 2000 tentang “mega-kota”, penduduk miskin di pinggiran Kota Jakarta kurang berpendidikan dibandingkan masyarakat Jakarta sendiri. Studi serupa juga menghitung angka kematian; daerah-daerah miskin tersebut memiliki angka kematian lima kali lebih tinggi.
Pada kasus yang sama, masalah sanitasi di Indonesia juga meningkatkan angka penderita gizi buruk di daerah-daerah terpencil dengan sistem sanitasi tidak memadai. Diperlukan investasi yang lebih besar dan luas pada sektor air bersih dan sanitasi.
Selain itu, hambatan-hambatan lainnya turut menghalangi masyarakat menjaga kesehatannya.
Koordinasi lembaga-lembaga terkait air bersih dan sanitasi tidak cukup kuat. Sebagai contoh, kontraktor yang membangun sistem perairan di desa-desa lebih bertanggung jawab pada pemerintah, bukan pada masyarakat pedesaan itu sendiri. Hal ini diakibatkan oleh kurang kuat dan rapinya struktur manajemen dari masyarakat yang bersangkutan.
Kurangnya keahlian dalam sektor perairan dan kapasitas kelembagaan, sering kali menghambat banyak pemerintah kabupaten.
Alasan utamanya adalah desentralisasi yang membuat kabupaten-kabupaten terpencil sulit merekrut tenaga ahli. Adapun SDM berkualitas dari kabupaten biasanya lebih memilih tinggal dan bekerja di daerah perkotaan, alih-alih membangun kampung halamannya sendiri.
Tidak ada data yang memadai tentang perkembangan kebersihan, air bersih, dan sanitasi di sekolah. Padahal, kunjungan lapangan telah menunjukkan perlunya peningkatan terhadap perihal tersebut.
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebanyak 77 persen Sekolah Menengah Pertama dilengkapi dengan persediaan air bersih dan sumur ledeng. Artinya, sebanyak lebih dari 10.000 SMP tidak memiliki fasilitas itu. Pada skala yang lebih besar, diperkirakan hingga 50.000 sekolah memerlukan fasilitas air bersih dan sanitasi yang layak.
Pembudayaan air bersih di kota-kota tidak diskema secara baik, serta lingkupnya terbilang sempit. Pada tahun 2009, dari 402 perusahaan daerah air minum (PDAM) yang melayani perkotaan, hanya 31 PDAM yang mempunyai lebih dari 50.000 sambungan. Kurang optimalnya ruang lingkup itu malah membuat biaya operasional lebih tinggi. Sementara pada tahun 2010, hanya 30 PDAM yang sanggup menutup biaya operasional dan pemeliharaan sistem secara benar. Karena itulah, sistem persediaan air bersih pada umumnya tidak terawat dan berstandar rendah.
Sistem sanitasi serta pembuangan kotoran dan air limbah di kota-kota besar, umumnya kurang memadai dan tidak dikelola dengan baik. Bank Dunia menaksir, setiap tahun, rumah tangga tanpa sanitasi layak di Jakarta membuang 260.731 ton kotoran manusia ke pengumpulan-pengumpulan air tanpa melewati pengolahan. Sementara untuk seluruh Indonesia, angkanya mencapai 6,4 juta ton.
Sementara itu, pengelolaan limbah padat di perkotaan tidak dilakukan dengan baik.
Lembaga yang bertanggung jawab terhadap hal itu melakukan kontrak dengan pengusaha-pengusaha swasta kecil. Pengusaha-pengusaha itu mengumpulkan sampah dari rumah-rumah, membawanya ke fasilitas penampungan sementara, kemudian sampah diangkut oleh lembaga tersebut. Sistem ini sering kali tidak berjalan baik karena kurangnya disiplin dari berbagai pihak.
Akibat kesadaran yang buruk, kondisi terkait kebersihan kerap menjadi imbasnya.
Tidak hanya di tempat-tempat umum seperti pasar lokal atau kawasan ramai lainnya, di pusat-pusat kesehatan pun kebersihan masih mengkhawatirkan. Ketidakpedulian itu berkembang menjadi budaya, dan berujung pada konsekuensi seperti penyakit. Berdasarkan survei yang dilakukan Universitas Indonesia tahun 2005 pada enam provinsi, kurang dari 15 persen ibu yang mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar, sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan, atau bahkan sebelum menyuapi anak.
Sosialisasi pada hal terkait tergolong sangat jarang. Sistem sanitasi yang buruk merupakan isu sosial yang butuh penanganan masyarakat secara gotong-royong. Namun, inisiatif tersebut cenderung tak terlihat. Sebagian masyarakat yang berbudaya bersih cenderung mengabaikan sekitar. Padahal, solusi sederhana dari masalah ini adalah kerja sama antar sesama penduduk dan pemerintah.
Berdasarkan poin-poin di atas, bisa disimpulkan bahwa diperlukan kebijakan yang responsif, pemusatan pada tindakan-tindakan, pemeliharaan dan pengembangan fasilitas, serta konsistensi yang berkala. Selain itu, inisiatif untuk membantu sesama adalah opsi mulia yang bisa kita coba.
Pada daerah-daerah yang jauh dari jangkauan mata pemerintah, peran relawan sangat membantu untuk meringankan masalah ini. Untuk itulah, salah satu lembaga nonprofit, Sedekah Air, bergerak sebagai penyedia sarana, entah berupa dana, relawan, maupun penggagas tempat. Dengan bertambahnya relawan-relawan tersebut, diharapkan tingkat kesehatan di Indonesia bisa membaik.
Sumber : https://sedekahair.org/masalah-sanitasi-dan-hambatan-penyelesaiannya/