Di awal tahun ini, pandemi COVID-19 melanda Indonesia sehingga mengganggu seluruh sektor dalam kehidupan masyarakat, termasuk salah satu yang paling strategis, yaitu ketahanan pangan. Pada akhirnya, produksi dan distribusi pangan masyarakat ikut terganggu dan bahkan, Food and Agriculture Organization (FAO) mengatakan bahwa dampak pandemi COVID-19 dapat menimbulkan krisis pangan baru.
World Food Summit pada tahun 1996 menjelaskan bahwa ketahanan pangan adalah situasi dimana saat semua orang, kapan saja, memiliki akses fisik dan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dan preferensi makanan yang aman serta bergizi, dengan jumlah yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif. Untuk mengukurnya, ada empat indikator, yaitu ketersediaan pangan secara fisik (physical availability), akses secara ekonomi dan fisik untuk mendapatkan pangan (food utilisation), dan stabilitas dari ketiga tersebut. Oleh karena itu, ketahanan pangan yang efektif bergantung pada ketersediaan, distribusi, dan konsumsi.
Namun, pandemi COVID-19 merubah itu semua dengan terganggunya sistem logistik pangan karena aktivitas terbatas selama pandemi, serta rantai pasok atau supply chain pangan sehingga masyarakat akan kehilangan akses pangan yang mengancam kehidupan mereka.
Distribusi pangan yang belum merata juga dikhawatirkan akan menyebabkan kelebihan atau kekurangan komoditas pangan di banyak daerah. Contohnya, laporan dari data Badan Ketahanan Pangan (BKP) menyebutkan bahwa Maluku dan Kalimantan Utara mengalami defisit ketersediaan beras hingga 10 sampai 25 persen pada April 2020. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan mengingat stok beras pada saat itu surplus 6.35 juta ton.
Pemerintah daerah mempunyai peran yang signifikan dalam menjaga ketahanan pangan di masa pandemi melalui berbagai strategi seperti mendorong pemanfaatan lahan, mencegah alih fungsi lahan produktif. Pemerintah daerah juga harus mampu memetakan daerah rawan pangan dan mengantisipasi dampak COVID-19 yang terjadi di sana
Sebagai bentuk respon, LOCALISE SDGs, program kerjasama United Cities and Local Governments Asia Pacific (UCLG ASPAC) dan APEKSI, dengan dukungan finansial oleh Uni Eropa mengadakan acara Diskusi Daring TPB dan COVID-19 #4 pada 1 Oktober lalu dengan membahas ketahanan pangan. Diskusi itu bertujuan untuk mengetahui dan mendiskusikan bagaimana pemerintah membuat kebijakan dan strategi untuk menjaga ketahanan pangan selama masa pandemi COVID-1, terutama dalam konteks pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau TPB.
Narasumber pertama adalah Dr. Ir. Agus Hendriadi, M.Eng selaku Kepala BKP, Kementerian Pertanian, yang memaparkan beberapa strategi yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat untuk membangun sistem pangan nasional. Contohnya, terdapat sistem SIMONTOK yang digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi ketahanan pangan di tiap provinsi.
Lalu, Kementerian Pertanian juga telah membangun program untuk meningkatkan ketersediaan pangan dengan pemerintah daerah, yakni dengan Cara Bertindak (CB) sebagai bagian dari agenda jangka panjang dan pendek. “Cara bertindak dalam program peningkatan ketersediaan pangan di era normal baru adalah, peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan pangan dan sistem logistik pangan, dan pengembangan pertanian modern.”, jelasnya.
Untuk CB terakhir tentang pertanian modern, Pemerintah Kota Makassar ternyata telah mengembangkan pertanian 4.0 atau urban farming selama dua tahun, seperti yang dipaparkan oleh Dra. Hj. Sri Sulsilawati selaku Kadis Ketahanan Pangan. Yang dilakukan adalah pemasangan alat pendeteksi yang efektif serta alat pengontrol sistem penyiraman, pengendalian hama dan kualitas udara menggunakan teknologi artificial intelligence.
Hal yang serupa juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Lampung dengan berpandang ke hutan sebagai sumber alam yang seringkali dianggap sebagai cadangan. “Padahal hutan secara tidak langsung berpengaruh pada ketahanan pangan, seperti stabilitas, atau kemampuan untuk mendapatkan makanan dari waktu ke waktu.” ujar Kusnardi, selaku Kadis Ketahanan Pangan dan Holtikultura Provinsi Lampung. Contohnya adalah agroforestri, dimana saat ini kawasan hutan sudah dimanfaatkan masyarakat melalui Perhutanan Sosial dengan keterlibatan 77,991 KK, dengan pemanfaatan paling tinggi yakni hutan lindung yang di dalamnya juga terdapat hutan desa. Selebihnya, upaya yang dilakukan Provinsi Lampung adalah Program Kartu Pertani Berjaya, peningkatan produksi pangan dan penguatan lembaga pertanian.
Terakhir, Dr. Bayu Krisnamurthi selaku Ketua IPB SDGs Network mengajak kita untuk memandang konsep ketahanan pangan dari segi konsumsi juga. Contohnya, Dr. Bayu mengingatkan kita untuk mengurangi food waste yang berlebihan. Selain itu, beliau menjelaskan bahwa ada 5,200 penderita gizi buruk di NTT dari 5.4 juta penduduk, dan 1 dari 3 balita Indonesia stunting akibat sanitasi dan akses air bersih yang buruk.
Maka, pandangan tentang ketahanan pangan juga harus mempertimbangkan aspek gizi. Dengan kata lain, pangan dan gizi merupakan masalah yang saling berkesinambungan karena optimalisasi gizi yang baik memiliki dampak jangka panjang. Pada akhirnya merumuskan bahwa produksi dan konsumsi yang berkelanjutan adalah kunci dari solusi menjaga ketahanan pangan, terutama dalam pasa pandemi. Bahkan, menurutnya, pandemi COVID-19 telah membuka peluang baru untuk memperbaiki jalan menuju pencapaian TPB dari segi ketahanan pangan.
Terlihat bahwa banyak tantangan yang dihadapi untuk menjaga ketahanan pangan di masa pandemi. Namun, perkembangan yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah juga sebenarnya dapat menjadi dasar dalam upaya pemberian bantuan sosial atau bantuan pangan bagi mereka yang membutuhkan. Selain bentuk respon dampak pandemi, bantuan sosial juga bentuk perlindungan bagi masyarakat yang terpengaruh oleh kondisi ekonomi yang melemah, seperti kehilangan pekerjaan. Agar tidak ada yang tertinggal atau No one left behind, dibutuhkan kualitas dan sinkronisasi data yang efektif untuk mewujudkan jaring pengaman sosial yang tepat sasaran dan berkeadilan. Dengan demikian, daya beli masyarakat dapat terjaga dan kebutuhan dasar masyarakat yang terkena dampak pandemi dapat dipenuhi dengan baik dan merata.
Sumber : https://localisesdgs-indonesia.org/beranda/v/pentingnya-menjaga-ketahanan-pangan-di-masa-pandemi-covid-19