Dibanding negara lain di Asia Tenggara, akses sanitasi dan air bersih di Indonesia masih tertinggal. Belum adanya regulasi dan komitmen pemerintah kabupaten/kota menjadi penyebab utama.
Kasubdit Drainase Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PPLP) Kementerian Pekerjaan Umum, Suharsono mengatakan, regulasi dimaksudkan untuk memberikan payung hukum yang kuat dalam mewujudkan program sanitasi yang sehat.
“Diperlukan sinergi bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah agar bisa terealisasi,” ujar Suharsono, usai meluncurkan Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (L2T2) di Lodji Gandrung Solo, Jawa Tengah, Jumat (23/10).
Pihaknya menargetkan, pada 2019 Indonesia harus menjadi negara dengan akses sanitasi yang sehat dan baik. Pihaknya optimis target menuju negara yang memiliki akses sanitasi tersebut bisa tercapai.
“Kita telah menunjuk beberapa daerah di Indonesia untuk menerapkan program L2T2. Seperti Makassar, Malang, Bogor, DKI Jakarta, dan Solo,” kata Suharsono.
Suharsono mengatakan, tidak mudah untuk menuju negara dengan akses sanitasi yang baik. Karena membutuhkan dana yang cukup besar. Padahal saat ini dana untuk akses sanitasi ini baru berkisar antara 2-4 persen dari APBN.
Untuk mempercepat program tersebut pihaknya menggandeng beberapa stakeholder, seperti United States Agency for International Development (USAID) dan Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene (IUWASH) guna mewujudkan program L2T2 untuk menuju sanitasi yang sehat.
“Ada 10 kabupaten/kota yang kita siapkan untuk melaksanakan program L2T2. Mereka akan kami undang untuk menunjukkan komitmennya dalam mewujudkan program sanitasi yang sehat ini,” ucap Suharsono.
Ketertinggalan akses sanitasi Indonesia ini, lanjut dia, juga karena anggaran program tersebut dari pemerintah kabupaten/kota masih minim. Sejauh ini 70 persen anggaran pemerintah kabupaten/kota digunakan untuk gaji pegawai dan infrastruktur. Sedangkan 30 persen di antaranya untuk lain-lain termasuk program sanitasi. [ary]