TENGGARONG – Aktifitas Mandi, Cuci dan Kakus (MCK) bagi warga di hulu Mahakam disebut satu kata yaitu Jamban. Fungsi Jamban bagi warga hulu tidak hanya MCK namun bisa lebih luas, yaitu bisa digunakan sebagai dermaga dan menambat perahu atau keramba ikan. Bahkan bisa dijadikan tempat nongkrong sambil mengail ikan terutama di bulan puasa.
Sehingga solusi terbaik untuk MCK bagi mereka adalah jamban karena banyak fungsinya selain MCK. Namun budaya masyarakat untuk MCK di sungai kini menjadi problem terutama dalam masalah sanitasi lingkungan, kelestarian lingkungan hidup, kebersihan dan juga masalah kesehatan. Lebih spesifik lagi jamban bisa mewakili kemiskinan, karena salah satu indikator rumah tangga miskin yaitu tidak memiliki toilet didalam rumah.
Padahal banyak penduduk di hulu Mahakam yang sehari hari menggunakan jamban sebagian warga mampu, ini terlihat dari kepemilikan kendaraan, TV berikut antena parabolanya serta punya usaha tetap beromzet jutaan rupiah. Jika mengacu jamban sebagai indikator sanitasi maka jumlah warga miskin di wilayah hulu Kukar menjadi bertambah seperti di Kecamatan Kenohan mislanya.
Camat Kenohan Ardani Syakrani saat ditemui beberapa waktu lalu mengatakan dari 3 ribu lebih warganya, 669 diantaranya adalah penduduk miskin. Menurutnya data warga miskin itu tidak berubah sejak 2012, meski pihaknya sudah melaksanakan berbagai program pengentasan kemiskinan, diantaranya program bedah rumah. “2013 lalu ada 100 unit rumah yang dibedah sehingga dinyatakan layak huni, tapi angka kemiskinan belum juga beranjak,” ujarnya.
Tiadanya perubahan angka kemiskinan itu ternyata dilihat dari indikator sanitasi terutama banyaknya jumlah jamban yang mengapung di bantaran sungai Kahala. Sulit untuk merubah budaya warga terhadap Jamban. Namun upaya mengurangi jamban akan terus dilakukan. “Diantaranya melalui pendekatan persuasif atau bujukan bukan dengan cara koersif atau paksaan,” demikian katanya.