kering kemarau, sudah menjadi siklus cuaca ke-iklim-an. Sudah terjadi sejak dahulu kala. Sawah dan ladang yang mengering sampai pecah-pecah merupakan fenomena biasa. Bahkan kekeringan dapat menjadi “jeda” iklim untuk seluruh lahan, agar tidak selalu di-eksploitasi. Menjadi periode konsolidasi lapisan tanah. Tak perlu panik, namun pemerintah harus tetap mewaspadai sistem sanitasi dan penyediaan air untuk konsumsi.
Sumber-sumber air mampet dan mengering. Sumur, jublang, kedung, sampai saluran tersier sudah terlihat dasarnya. Hampir dua pertiga pedesaan di Jawa Timur dilanda kekeringan. Terutama daerah “langganan” kekeringan (wilayah tapal kuda, Pasuruan sampai Banyuwangi dan Madura) masyarakat kesulitan mencari air. Sekedar untuk konsumsi saja (memasak dan minum) harus berjalan hingga beberapa kilometer.
Sedangkan hewan ternak sapi dan kerbau, tidak dimandikan setiap hari.
Begitu pula wilayah selatan Jawa Timur, mulai dari kawasan Muncar (Banyuwangi) sampai pantai Klayar (di Pacitan) akan mengalami kemarau kering lebih panjang. Berdasarkan data indeks gini, kawasan selatan merupakan daerah kantong kemiskininan. Wilayah tersebut juga terdiri dari gunung dan ngarai. Seluruhnya sudah nampak kecoklatan, nyaris tidak berdaun. Pada musim hujan terancam bencana longsor.
Tetapi sebenarnya, kekeringan bukan hanya di kawasan selatan. Daerah tengah dengan fasilitas saluran sekunder yang baik juga menunjukkan kekeringan. Misalnya, yang terjadi pada waduk Notopuro di Madiun. Tahun lalu, waduk yang mengering digunakan oleh warga untuk bercocok tanam, memanfaatkan air yang masih tersisa dengan cara menyedotnya dengan pompa. Hasilnya cukup lumayan, pada areal (dibatasi) seluas 6 hektar bisa ditanami padi dan palawija.
Merespons dampak lebih buruk, BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Propinsi dan Kabupaten/Kota, mestilah siaga. Antaralain setidak mensuplai kebutuhan air bersih untuk konsumsi dan kebutuhan MCK (mandi, cuci, kakus). Untuk program aksi yang sama BNPB telah menyiapkan dana untuk membantu daerah-daerah yang mengalami kekeringan dan krisis air. Dana tersebut diperuntukkan program penyediaan air bersih dan pengeboran sumur.
Program penyediaan air akan di-substitusi-kan untuk daerah-daerah yang langganan mengalami bencana kekeringan seluruh Indonesia. Daerah-daerah tersebut antaralain NTT (Nusa Tenggara Timur), NTB, seluruh pulau Jawa, dan Lampung. BPBD dapat mengajukan alokasi anggaran untuk mengurangi dampak kekeringan. Berdasarkan data indeks ginie, lokasi kekeringan merupakan kantong-kantong kemiskinan
Musim kemarau, bukan hanya mempersulit penyediaan air untuk sanitasi dan konsumsi. Melainkan juga berimplikasi pada kehidupan hewan. Penyakit pada hewan ternak (misalnya cacing hati, serta penyakit pada kuku dan mulut) biasanya juga sering berjangkit pada musim kemarau kering. Itu disebabkan faktor makanan yang kurang, lalu dioplos dengan dedaunan atau pakan lain seadanya.
Pada pasal 1 (ketentuan umum) butir ke-14 UU 24 tahun 2007, dinyatakan: ” Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik … klimatologis,… yang mengurangi kemampuan mencegah …menanggapi dampak buruk bahaya.” Padahal kemarau kering dapat menyebabkan dampak buruk berupa gagal panen (secara ke-ekonomi-an). Juga berbagai timbulnya berbagai penyakit karena kurang terjaminnya kebersihan keluarga. Misalnya penyakit kulit sampai penyakit paru-paru.
Maka kesiapan BPBD dalam mengantisipasi musim kemarau kering, mestilah dikoordinasi pula dengan Dinas terkait (Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas PU, dan Dinas Kesehatan). Toh setiap SKPD memiliki program aksi ke-bencana-an. penanggulangan dampak bencana kemarau kering, tentu tak cukup hanya mensuplai kebutuhan air bersih. Namun harus lebih sistemik, misalnya dengan fasilitasi sumur bor, serta memperbaiki hutan lindung sebagai resapan air.
Namun syukur, musim kemarau diperkirakan tidak akan lama. Pada bulan Oktober sudah akan mulai musim hujan (sembari di-doa-kan tidak terjadi anomali cuaca ekstrem). Awan cumulus nimbus sudah dekat.