Hampir satu tahun berlalu bencana dahsyat melanda Kota Palu dan sekitarnya. Tepatnya saat gempa bumi dengan kekuatan 7,4 skala Richter diikuti fenomena alam lainnya yaitu likuifaksi dan tsunami, meluluhlantakkan sebagian besar wilayah kota di Provinsi Sulawesi Tengah itu. Ribuan nyawa meninggal dan hilang. Puluhan ribu bangunan rumah rusak ringan, sedang, hingga rusak berat, bahkan lenyap. Infrastruktur jembatan, jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih mengalami kerusakan yang cukup parah. Bahan bakar sulit didapat, penjarahan terjadi di hampir seluruh toko swalayan. Suasana mencekam terjadi di seluruh sudut kota pada 28 September 2018.
Banyak masyarakat yang kehilangan tempat tinggal dan perlu segera dipikirkan untuk memenuhi kebutuhan paling dasar. Baik yang sifatnya darurat sementara seperti tenda, dan selanjutnya beranjak menuju hunian sementara hingga akhirnya hunian tetap, beserta seluruh kebutuhan dasar lainnya seperti air bersih dan sanitasi lingkungan di permukiman.
Ada fenomena alam lain yang menarik tepat sehari pascagempa. Di satu wilayah, sumber air tiba-tiba hilang, sementara di daerah lain tiba-tiba air memancar tanpa henti. Bisa jadi hal ini disebabkan pergerakan lapisan tanah yang terjadi akibat gempa. Namun kondisi tersebut tak berlangsung lama. Pada umumnya kebutuhan air masih sangat sulit di sebagian besar wilayah terdampak bencana, khususnya bagi masyarakat yang berada di hunian darurat, sampai saat ini.
Layanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Palu maupun Donggala yang memang sudah relatif kecil—sekitar 19,7 % saja—sejak sebelum bencana menjadi semakin tidak berdaya. Sekarang ditambah lagi kerusakan di beberapa pipa distribusi. Alhasil, bantuan berupa pengeboran sumur dalam oleh pemerintah maupun para donatur lainnya menjadi solusi sementara yang dapat segera dilaksanakan. Skema ini dapat diadopsi oleh Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) untuk penanganan air bersih Skala Lingkungan.
Tentu saja, skema tadi tentu belum cukup memenuhi kebutuhan. Apalagi sumur dalam memiliki masa pakai yang terbatas sehingga perlu dipikirkan agar pemenuhan kebutuhan air bersih untuk skala yang lebih luas dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Di saat yang sama, program pembangunan ribuan hunian tetap dan rencana pemindahan beberapa fasilitas perkantoran sangat membutuhkan sebuah perencanaan penyediaan air bersih berkelanjutan yang dapat menjangkau seluruh wilayah kota. Masterplan penyediaan air bersih perlu ditinjau kembali. Pemilihan material dan sistem penyediaan air bersih juga mesti menimbang ketahanan terhadap bencana. Sehingga jika terjadi bencana serupa maka kebutuhan air bersih yang merupakan kebutuhan dasar dapat terpenuhi secara cepat dan dalam jumlah yang cukup.
Kebutuhan sanitasi pun tidak jauh berbeda. Meskipun secara perlahan sudah mulai berkurang masyarakat yang mempunyai kebiasaan buang air besar (BAB) pada saat sebelum terjadinya bencana. Namun dengan kejadian bencana ini disinyalir kebiasaan tersebut tumbuh kembali lantaran sulitnya mengakses fasilitas BAB yang memadai. Di sisi lain kondisi septic tank individual maupun komunal yang telah dibangun masyarakat baik secara swadaya maupun melalui program pemerintah belum diketahui secara pasti keandalannya.
Menurut data, pergerakan pembalikan permukaan tanah yang terjadi di hampir seluruh wilayah kota dikhawatirkan menyebabkan keretakan pada sebagian besar konstruksi septic tank. Hal ini membutuhkan observasi dan evaluasi menyeluruh terhadap kualitas septic tank di kota Palu dan sekitarnya. Program Kotaku semestinya bisa mengambil peran dalam hal ini agar pencemaran air tanah yang disebabkan oleh rembesan limbah bisa dikurangi.
Di sektor persampahan, masalah paling besar sesaat setelah bencana adalah sampah atau buangan bongkaran bangunan dalam jumlah yang sangat besar. Meskipun secara perlahan hal itu dapat diatasi namun pengeloalaan sampah secara keseluruhan mengalami gangguan yang cukup signifikan. Bantuan armada persampahan masih menjadi kebutuhan pengelolaan sampah mengingat saat ini terjadi penyebaran perumahan sementara maupun perumahan permanen yang harus dijangkau secara merata oleh armada persampahan. Tentu saja di tingkat lingkungan maupun kawasan akan lebih berdaya guna jika konsep pemilahan sampah sudah mampu dilakukan, khususnya melalui Program Kotaku.
Fasilitas drainase secara umum masih bisa segera ditangani khususnya untuk perbaikan drainase sekunder dan tersier terkait kerusakan pascabencana. Namun sesuai masterplan drainase yang telah direvisi, Pemerintah Kota Palu belum mampu menangani drainase untuk semua tipe buat semua lingkungan maupun kawasan. Terlebih saluran primer yang dimensi saluran drainasenya cukup besar dan membutuhkan ruang yang memadai.
Pada dasarnya strategi sanitasi lingkungan untuk Kota Palu yang disusun pada 2017 lampau masih cukup relevan. Khususnya, untuk dijadikan acuan dalam penanganan Skala Lingkungan maupun Skala Kawasan seperti Program Kotaku. Rasanya penanganan masalah air bersih dan sanitasi memang tidak bisa dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Kota Palu. Dibutuhkan peran serta berbagai pihak untuk dapat mengatasi kondisi air bersih dan sanitasi Kota Palu pascabencana.