Tarian Bapang menyambut para perwakilan pemerintah Kabupaten dan Kota yang tergabung dalam Aliansi Kabupaten Kota Peduli Sanitasi (Akkopsi) di pendapa Kabupaten Malang, Kamis 9 Agustus 2019. Tiga penari dengan gerakan enerjik mengisahkan perjalanan Bapang Jayasentika, Adipati Banjar Patoman. Bapang ditafsirkan sebagai tarian Baladewa.
Bapang merupakan salah satu bagian dari karakter Epos Panji dalam tari topeng Malang. Bapang digambarkan sebagai sosok yang kuat, cerdas dan suka disanjung. Karakter topeng berwarna merah dengan hidung panjang. Ratusan peserta Akkopsi menikmati tarian khas Malang.
Ketua Akkopsi yang juga Wali Kota Jambi Syarif Fasha mengatakan banyak kepala daerah penasaran dengan Desa Pujon Kidul yang berhasil memadukan sanitasi dengan wisata. Unik, Desa Pujon Kidul menyajikan café sawah yang dipadukan dengan sanitasi yang bagus.
“Kami dari Kabupaten/Kota penasaran. Apa yang ada di sini?,” katanya. Ada mutiara, kata Syarif, yang bisa ditularkan yakni memadukan sanitasi dengan wisata. Banyak yang dipelajari di Pujon Kidul dan akan diterapkan di daerah masing-masing. Terutama untuk memadukan sanitasi dengan pariwisata.
Café sawah semakin moncer, setelah dikunjungi Presiden Joko Widodo 30 Maret 2018 lalu. Semua pemerintah daerah termasuk perkotaan, katanya, memiliki lahan persawahan meski sempit. Namun, tak banyak yang bisa mengangkat sawah menjadi destinasi wisata yang menarik.
“Ada yang berbeda di sini. Berwisata di sawah, ada nilai tambah,” katanya. Selain itu terjalin kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat dilibatkan dan menjadi subyek mengelola wisata. Sehingga mereka turut menjadi asset wisata.
Pariwisata, tak hanya hanya menjual alam dan budaya. Namun, juga harus dibarengi dengan pengelolaan sanitasi yang memadai. Untuk itu, ia mengimbau anggotanya agar mengoptimalkan sawah di daerahnya dan melakukan studi banding ke Pujon Kidul.
“Jika di luar negeri, pengelolaan wisata didahului dengan penataan sanitasi lebih dulu,” ujar Syarif. Setelah siap, baru mempromosikan keindahan alam, budaya, seni, dan sejarah. Pengelola menyediakan toilet, drainase, pengolahan limbah cair dan sampah yang memadai. Toilet bersih dan terawat. Serta menyediakan tempat sampah yang sesuai dengan jumlah pengunjung.
Sedangkan di Indonesia, pengelola wisata abai dan kadang melupakan sanitasi. Sehingga menimbulkan masalah lingkungan. Bahkan kadang sampah berceceran tak terurus. Bahkan bau dan menganggu pernafasan.
Sektor wisata, kata Syarif, juga turut berperan menurunkan kemiskinan. Dengan menguatkan daya dukung lingkungan hidup, dan wisata. Kabupaten Malang, katanya, memiliki alam yang indah. “Dibiarkan saja, banyak orang datang. Apalagi dikelola,” ujarnya.
Akkopsi berdiri sejak 2009. Setiap pertemuan puncak digelar dialog dan komunikasi untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan sesama anggota. Namun, berbeda saat di Malang yang juga memadukan dengan wisata. Sehingga turut melibatkan Kementerian Pariwisata, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kementerian Kesehatan.
“Kemenpar akan membantu membenahi wisata dengan pengelolaan sanitasi yang bagus,” katanya. Akkopsi beranggotakan 492 Pemerintah Kota dan Kabupaten. Dalam pertemuan ini dihadiri sekitar 60 persen utusan anggota. Di sini, katanya, sanitasi juga turut menunjang perekonomian. Masyarakat menjadi sejahtera.
Dimulai dari Pujon Kidul
Pelaksana tugas Bupati Malang Sanusi menyambut kedatangan Wali Kota/Bupati dan pejabat Pemerintahan yang menghadiri Advocacy Horizontal Learning (AHL) Akkopsi. Mereka menimba ilmu desa wisata Desa Pujon Kidul yang memadukan sanitasi dengan wisata. “Alamnya indah, sejuk. Sanitasi bagus,” katanya.
Sanusi berharap anggota Akkopsi bisa belajar dan menerapkan di daerah masing-masing. Meski setiap daerah punya karakteristik dan pola yang berbeda. Wisata berbasis sanitasi juga diterapkan di sejumlah obyek wisata di Kabupaten Malang. Antara lain Sumbermaron, Boonpring, Jenon, Bedengan, dan Hutan Pinus Semeru.
Selain itu, akan dikembangkan di obyek wisata lain melalui Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Terutama mengoptimalkan pengelolaan sampah dan air limbah. Terutama di obyek wisata yang berbasis air, seperti Boonpring, Jenon dan Sumbermaron.
Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Pemukiman, dan Cipta Karya (DPKPCK) Kabupaten Malang, Wahyu Hidayat mengatakan tengah menyiapkan sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal di setiap obyek wisata. Termasuk menyediakan toilet yang bersih dan memadai sesuai jumlah wisatawan.
Menyediakan saluran air drainase agar terjamin kebersihan dan kesehatannya. Juga menyediakan tempat sampah yang disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan. Serta mengolah sampah agar tak menganggu dan mencemari lingkungan. “Sampah jika berantakan akan mempengaruhi estetika dan tak baik bagi wisata,” katanya.
Kebersihan poin penting, wisatawan akan bercerita kepada yang lain tentang kondisi kebersihan sebuah tempat wisata. Jika kebersihannya tak terjaga, wisatawan bakal tak kembali lagi. Dalam konsep penataan sanitasi di obyek wisata akan melibatkan Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Desa, dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Desa (Bappeda).
“Konsep di Pujon Kidul akan direplikasi di obyek wisata lain,” katanya. Ia berharap kedepan desa wisata tak hanya mengembangkan wisata. Namun, juga memperhatikan sektor sanitasi. Untuk penataan sanitasi di sejumlah tempat wisata akan dialokasikan dana dalam Aanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Malang 2020.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Kohar Hari Santoso mengatakan kualitas hidup seseorang dipengaruhi sanitasi. Sehingga sanitasi yang bagus, tak hanya di permukiman. Namun, juga harus dikembangkan di obyek wisata. “Sanitasi merupakan syarat hidup sehat, jiwa raga dan lingkungan yang baik,” katanya.
Sementara kondisi sanitasi dari 33 kecamatan di Kabupaten Malang cukup bagus. Salah satunya Kecamatan Wonosari yang sudah Open Defecation Free (ODF) atau tak buang air besar sembarangan 100 persen. Pemerintah daerah harus mengatasi masalah sanitasi mulai dengan membangun infrastruktur, dan meningkatkan kesadaran masyarakat.
Asisten Deputi Pengembangan Destinasi Regional Kementerian Pariwisata Reza Fahlevi mengatakan di setiap obyek wisata harus dibangun toilet yang cukup. Dengan rasio setiap 20 orang satu toilet. Selain itu juga harus tersedia air bersih yang cukup. “Tempat sampah harus ada setiap dua meter,” katanya.
Pemerintah Daerah dan pengelola wisata wajib menyediakan infrastruktur pendukung. Menjaga lingkungan secara baik, katanya, akan menunjang pariwisara berkelanjutan. Kementerian Pariwisata membuat pedoman destinasi wisata berkelanjutan. Salah satunya terkait dengan pentingnya sanitasi. Perwakilan pemerintah Kota/Kabupaten Akkopsi mendeklarasikan sinergitas sektor pariwisata dan sanitasi.
Air Limbah untuk Kolam Ikan
Gemericik air mengucur di kolam ikan, ikan koi warna-warni berenang mengikuti arus air. Sejumlah pengunjung mengabadikan ikan seolah tengah menari di kolam tepat di tengah café sawah. Sebagian pengunjung duduk di gazebo atau bersimpuh di bangunan semi permanen berbentuk joglo. Terbuat dari bambu, artistik dan natural.
Tak jauh dari kolam ikan, juga ada kolam khusus untuk angsa dan itik. Unggas itu berenang di atas air kolam. Sejumlah pengunjung, terutama anak-anak tengah berinteraksi dengan kedua jenis unggas itu. Sedangkan beberapa petak lahan dimanfaatkan untuk menanam aneka tanaman sayuran. “Sayuran ini bisa dipetik langsung dan dijual ke pengunjung,” kata Manajer Marketing café sawah, Ibadur Rochman.
Siapa sangka jika air tersebut berasal dari IPAL Komunal, hasil pengolahan air yang berasal dari toilet dan dapur café sawah. Sebuah reaktor IPAL Komunal dibangun di bagian belakang café sawah. Reaktor memiliki sejumlah saringan, sehingga air yang keluar jernih dan aman. “Sayang air masih bau, butuh perlakuan khusus. Perlu diuji lebih lanjut,” katanya.
Sedangkan unggas dan ikan tersebut juga memanfaatkan sisa makanan pengunjung. Sehingga, semua limbah habis tak tersisa. Sisa makanan menjadi pakan ternak. “Tak ada yang terbuang,” katanya.
Sedangkan ampas, yang dihasilkan dari IPAL Komunal bakal diolah menjadi pupuk. Perlu penelitian dan kajian lanjutan agar siap digunakan untuk sayuran. Sehingga, dibutuhkan para akademikus untuk membantu mengolah ampas IPAL Komunal tersebut.
Kepala Desa Pujon Kidul, Udi Hartoko menjelaskan sebelum membangun tempat wiasata lebih dulu dibangun instalasi jaringan air. Serta saluran drainase, kemudian dilanjutkan pembangunan café sawah yang dimulai sejak 2016. “Modal awal Rp 60 juta. Ditambah 2017 sebanyak Rp 150 juta,” katanya.
Selain dibangun IPAL Komunal, juga dibangun tempat pengolahan sampah terpadu (TPST). Lokasi TPST berjarak selemparan batu, berupa sebuah gedung terbuka seluas lapangan bola voli. Aneka jenis sampah menumpuk, dipisahkan antara sampah organik dan non organik. Sampah tak hanya berasal dari café sawah, namun juga dari sampah domestik rumah tangga warga setempat.
Sepekan sekali, sebanyak dua truk sampah yang diangkut ke TPST Pujon Kidul. Sampah anorganik terdiri dari plastik, kertas, dan karton dijual ke bank sampah. Sedangkan sampah organik diolah menjadi kompos. Hasil olahan kompos diujicoba untuk tanaman bawang dan selada.
Puluhan pot berisi tanaman sayuran tertata di sudut TPST Pujon Kidul. Sebelum membangun TPST, lebih dulu mengubah cara berfikir masyarakat agar tak membaung sampah sembarangan. Dulu, limbah domestik rumah tangga dibuang sembarangan. Termasuk dibuang ke sungai. Dampaknya, air sungai dipenuhi sampah hingga mengalir ke sawah.
“Dulu saya mengairi sawah, ternyata bercampur sampah,” katanya. Jenis sampah paling banyak, katanya, styrofoam dan botol plastik. Kini, ia mengimbau agar masyarakat tak lagi menggunakan bungkus yang sulit didaur ulang.
Termasuk ditekankan kepada forum pagutuban pengelola wisata, agar menggunakan bungkus yang ramah lingkungan. Tujuannya meminimalisir sampah plastik. Beralih menggunakan bahan alami yang mudah daur ulang. “Leluhur kita mengajarkan dengan menggunakan bahan alami,” ujarnya
Café sawah menjual masakan tradisional, degan mengenalkan kearifan lokal. Membangun edukasi pertanian, dengan penunjang wisata berkuda, kolam renang, motor trail dan motor ATV. Serta wisata edukasi peternakan mulai pemeliharaan sapi perah, pengolah biogas dan pengolahan susu.
“Jangan sampai araksi wisata mengabaikan lingkungan. Atau malah merusak lingkungan,” ujarnya.
Salah seorang wisatawan asal Pakis Kabupaten Malang, Wahyudi mengaku tertarik mengunjungi café sawah lantaran ramai di media sosial. Selain menyajikan aneka menu khas dan suasana alam yang asri juga ada beragam titik swafoto. “Asyik, ada beragam menu. Enak dan murah,” katanya.
Di setiap sudut gazebo dan kanopi juga tersedia tempat mencuci tangan dan tempat sampah. Sehingga lokasi wisata tampak bersih, tak ada bekas makanan, bungkus kudapan yang tercecer. Semua masuk di dalam keranjang sampah di dekat tempat pengunjung menikmati kuliner khas desa. Juga tersedia 20 toilet di sejumlah titik, dekat dengan pengunjung. Kondisi toilet bersih dan sehat. Manajemen berpesan agar air dipakai secukupnya agar hemat.
Angin semilir, sejuk. Lokasi café sawah diapit gunung Banyak dan Panderman. Menambah suasana café sawah semakin menarik. Wisatawan bakal betah, berlama-lama duduk, ngobrol dan makan kudapan dan minuman hangat. Mereka tak akan leks beranjak. Apalagi pemandangan alam berupa sawah dengan aneka tanaman sayur terhampar luas di sekitar café sawah.