- Penularan virus corona 2019 (COVID-19) sudah memasuki Indonesia dan menetapkan Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat sebaran virus tersebut. Ibu Kota Negara menjadi wilayah terdampak paling besar dibandingkan provinsi lain di Indonesia
- Agar penyebaran virus bisa ditekan dan dihentikan, kampanye gaya hidup sehat dan bersih dengan mencuci tangan secara rutin dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, kampanye itu tidak berhasil di beberapa wilayah yang suplai air bersih masih belum lancar
- Sulitnya warga mendapatkan akses air bersih, diakibatkan karena Pemprov DKI sejak lama sudah melaksanakan swastanisasi air bersih dengan mempercayakan distribusinya kepada dua perusahaan swasta dari Inggris dan Prancis
- Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KKMSAJ) mendesak kepada Pemprov DKI dan instansi Negara lain untuk bisa menyelesaikan persoalan air bersih di DKI Jakarta. Tanpa itu, berbagai masalah akan sulit dihentikan, terutama penyebaran COVID19 yang sangat meresahkan dunia
Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ada di DKI Jakarta menjadi pihak yang paling terdampak akibat merebaknya virus corona 2019 (COVID-19) saat ini. Dampak yang signifikan itu, termasuk dalam hal pelayanan mendapatkan air bersih, di mana sebelumnya banyak kalangan MBR yang tidak bisa berlangganan perusahaan air minum (PAM) Jaya.
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menyebutkan, akibat ketiadaan pasokan air bersih, masyarakat MBR selama ini harus membeli air bersih kepada para penjual eceran. Dalam sehari, jumlah rupiah yang harus dikeluarkan juga tidak sedikit, karena menyesuaikan dengan jumlah anggota dalam kepala keluarga (KK).
Dalam kondisi seperti ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya memberikan jaminan ketersediaan air bersih untuk warga MBR yang jumlahnya tidak sedikit. Jangan sampai, dalam kondisi darurat seperti sekarang, pengelolaan air bersih masih dilakukan dengan cara swastanisasi melalui peran distributor air bersih.
Melalui keterangan resmi yang dikirimkan kepada Mongabay, Minggu (22/3/2020), KKMSAJ menyebutkan bahwa hingga saat ini banyak warga MBR di berbagai wilayah DKI Jakarta masih belum bisa mengakses air bersih. Itu berarti, hak konstitusional atas air oleh Negara hingga sekarang belum mereka dapatkan.
“Kini, jangankan memenuhi kebutuhan air minum, untuk menjaga kebersihan seperti mencuci tangan saja mereka (masih) kesulitan. Akibatnya, mereka menjadi kelompok yang sangat rentan menjadi korban berlapor dampak dari penularan virus corona,” demikian KMMSAJ dalam keterangan resminya.
Agar pemenuhan air bersih bisa diakses dengan mudah dan murah oleh warga MBR, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan didesak harus segera menghentikan praktik swastanisasi air bersih di wilayah kekuasaannya. Dengan demikian, masyarakat akan bisa mengikuti himbauan Pemerintah RI untuk bisa meningkatkan sanitasi lingkungan, rumah, dan diri sendiri.
Diketahui, DKI Jakarta sampai sekarang masih ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai pusat sebaran COVID-19 dan penularannya sudah menyebar hingga seluruh wilayah yang ada. Agar penyebaran tidak semakin meluas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meminta seluruh warga untuk bisa menerapkan gaya hidup bersih dan sehat.
Himbauan
Gubernur DKI Jakarta sudah menghimbau kepada warga DKI Jakarta untuk bisa menjalankan praktik social distancing (menjaga jarak sosial) dengan tetap di rumah, memperbanyak dan rutin mencuci tangan setelah melakukan kegiatan, serta membatasi kontak dengan orang. Himbauan tersebut berlaku untuk semua warga DKI tanpa ada batasan tertentu.
“Namun, himbauan ini ternyata tidak sejalan pada ketersediaan dan keterjangkauan masyarakat khususnya masyarakat miskin dan rentan untuk mengakses air bersih di DKI Jakarta. Pasalnya, air di DKI Jakarta sendiri saat ini dikelola oleh swasta dan bukan oleh Negara,” demikian kutipan pernyataan lain dari KMMSAJ.
Anggota KMMSAJ dari LBH Jakarta Arif Maulana menyatakan bahwa pengelolaan air oleh pihak swasta di DKI Jakarta, menjadikan air sebagai komoditas bisnis yang tidak bisa dijangkau oleh semua golongan masyarakat. Akibatnya, pelayanan air bersih hanya menjangkau kalangan masyarakat menengah ke atas saja dan dipusatkan bagi kawasan perumahan mewah, apartemen, hotel, mal, dan perkantoran.
“Padahal air merupakan hak konstitusional dan kebutuhan dasar bagi seluruh lapisan masyarakat yang tidak bisa dibatasi aksesnya untuk alasan apapun. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sendiri nampaknya enggan menghentikan swastanisasi air di Jakarta yang telah terjadi selama 23 tahun,” tegas dia.
Arif mengatakan, janji Gubernur DKI untuk menghentikan swastanisasi air hingga kini juga masih sebatas janji saja. Padahal, dengan kondisi darurat seperti sekarang, kebutuhan air bersih mutlak harus bisa dipenuhi oleh masyarakat banyak.
Selain regulasi yang tidak berpihak, masih ada sejumlah faktor yang membuat masyarakat di DKI tidak bisa mengakses air bersih dengan mudah. Di antaranya, adalah karena kualitas air yang buruk dan tidak layak konsumsi atau pakai. Kondisi ini dialami banyak wilayah, seperti Rawa Badak dan Koja di Jakarta Utara, yang harus menggunakan air keruh dan bau.
Contoh wilayah lain yang juga mengalami kondisi sama, adalah Pegadungan dan Kalideres di Jakarta Barat. Di kedua daerah tersebut, masyarakat dengan terpaksa harus mengonsumsi air yang berwarna hitam, bau, dan juga berbusa. Tak hanya itu, pasokan air melalui jaringan pipa PAM juga tidak bisa didapat dengan lancar oleh masyarakat yang sudah berlangganan.
“Di beberapa wilayah DKI Jakarta, air hanya mengalir di pada jam tertentu saja,” tutur Arif.
Dengan semua persoalan di atas, anggota KMMSAJ dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHa) Muhammad Reza menilai tidak aneh jika banyak warga yang masih mengabaikan himbaun untuk melaksanakan hidup bersih dan sehat. Di benak warga, yang utama adalah bagaimana mendapatkan air bersih untuk kebutuhan makan dan minum bisa tetap berjalan lancar.
Kesulitan
Menurut Reza, situasi seperti sekarang akan dirasakan lebih berat bagi perempuan yang tinggal di kawasan-kawasan yang suplai air bersihnya sangat sulit. Dibandingkan dengan lelaki, perempuan dinilai sebagai orang yang paling banyak menjalankan peran dalam rumah tangga.
Termasuk di dalam situasi pandemi corona ini, peran perempuan akan semakin besar karena harus memastikan pelayanan rumah tangga untuk anggota keluarga bisa tetap berjalan baik. Pelayanan yang dimaksud, terutama adalah memastikan ketersediaan pangan dan kebutuhan air bersih untuk menjamin kesehatan bagi seluruh anggota keluarga.
“Perempuan lebih banyak bersinggungan dengan air untuk memastikan kebutuhan anak, keluarga dan rumah tangga terpenuhi,” tegas dia.
Agar persoalan air bersih bisa semakin baik, KMMSAJ menuntut sejumlah poin kepada berbagai pihak yang terkait, di antaranya:
- Negara cq Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah melalui Presiden dan Kepala Daerah memastikan penguasaan air oleh Negara untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana mandat Pasal 33 Konstitusi;
- Gubernur DKI Jakarta menunaikan janjinya dan tidak membuat kebohongan publik dengan secepatnya memutus kontrak swastanisasi air antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq. PAM Jaya dengan PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta untuk menghentikan swastanisasi air di DKI Jakarta dan mengembalikan pengelolaan air ke publik untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat;
- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjamin ketersediaan dan akses air minum maupun air bersih bagi seluruh warga DKI Jakarta, khususnya masyarakat miskin Kota dan kelompok rentan baik laki laki atau Perempuan untuk mamastikan kelancaran upaya pencegahan penyebaran COVID19 dan kesehatan publik;
- DPRD DKI Jakarta untuk tidak diam saja, dan segera menjalankan fungsi pengawasan untuk memastikan Gubernur menjalankan perintah konstitusi menguasai dan mengelola air untuk kemakmuran rakyat;
- Menjamin keterlibatan dan partisipasi masyarakat, laki-laki dan perempuan dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan untuk pengelolaan air di Jakarta; dan
- Mendesak KPK Untuk mengawasi rencana pengambilalihan pengelolaan air Jakarta oleh Pemda DKI Jakarta yang rentan terjadi tindak pidana korupsi.