KEBIJAKAN pembangunan pertanian yang mengedepankan kuantitas produksi dan eksploitasi sumber daya tanah secara berlebihan saat ini, telah menimbulkan dampak tekanan yang mengancam keamanan dan kualitas tanah.
Apabila pengelolaan tanah tidak didasari pemahaman nilai-nilai keamanan tanah dan kualitas tanah, dikhawatirkan sistem pertanian berkelanjutan yang berprinsip memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi berikutnya akan terabaikan.
Pakar Ilmu Tanah dan dosen Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (FP-UNS) Solo, Prof. Dr. Supriyadi, mengungkapkan masalah itu kepada wartawan, Senin (2/4/2018). Ia menjelaskan hasil penelitiannya yang akan disampaikan dalam pengukuhannya sebagai guru besar bidang kualitas tanah pada FP-UNS, Selasa (3/4/2018) besok.
“Penggunaan lahan untuk pertanian secara intensif untuk memacu produksi biomassa, mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, bahkan berdampak terhadap kualitas lingkungan global. Sedangkan penggunaan bahan agrokimia berupa pupuk anorganik dan pestisida yang melebihi ambang, telah mengakibatkan degradasi kesuburan tanah dan ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah,” ujarnya.
Menurut Prof. Supriyadi yang merupakan guru besar ke-189 di UNS, sekarang ini dalam pemanfaatan tanah untuk pertanian tidak boleh hanya mengedepankan produktivitas berdasarkan tingkat kesuburannya. Namun kesuburan tanah harus mempertimbangkan kualitas maupun kesehatan tanah dan sekarang disyaratkan juga tentang keamanan tanah.
Pakar ilmu tanah itu menekankan, dalam kultur pertanian masalah keamanan tanah dan kualitas tanah merupakan kunci utama pertanian keberlanjutan dengan petani sebagai subyeknya.
Ia berpendapat, untuk menciptakan keamanan tanah dan kualitas tanah, para petani yang merupakan subyek kultur pertanian memerlukan sistem kendali internal pengelolaan lahan yang diciptakan dan dilaksanakan para petani sendiri.
“Sistem pengendali internal tersebut merupakan ruh pertanian di kalangan petani sendiri. Salah satu contoh petani di Desa Susukan, Kabupaten Semarang. Petani di sana mengubah kebiasaan dari pupuk anorganik ke organik yang hasil panennya hanya beberapa ton. Tetapi mereka sepakat, hasil yang dijual dua pertiga dan sepertiga bagian dikonsumsi. Ini perubahan kultur bertani dengan sistem kendali internal yang mereka buat sendiri,” jelasnya.
Prof. Supriyadi secara konsisten melakukan penelitian terhadap keamanan dan kualitas tanah tersebut, di antaranya di kawasan sub-DAS Bengawan Solo Hulu, yang hasilnya menunjukkan indeks kualitas tanah lebih tinggi dibanding dengan indek kualitas tanah hutan sekunder. Selain itu, guru besar FP-UNS itu juga meneliti masalah yang sama di Kabupaten Demak, Kabupaten Sragen, Kabupaten Pati dan di Merauke, Papua.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Prof. Supriyadi di antaranya merekomendasikan pemanfaatan bioindikator sebagai salah satu alternatif yang mudah, murah dan relatif cepat untuk menilai keamanan dan kualitas tanah.