Akses air minum dan sanitasi yang memadai berkontribusi langsung terhadap tingkat produktivitas manusia. Saat ini, Indonesia telah mencapai 88 persen akses air minum layak dan 75 persen akses sanitasi layak. Meski prestasi tersebut cukup gemilang, Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menyediakan akses air minum layak bagi 32 juta jiwa penduduk dan akses sanitasi layak bagi 67 juta jiwa penduduk.
Untuk menegaskan kembali komitmen seluruh pemangku kepentingan pembangunan sektor air minum dan sanitasi untuk mencapai Tujuan 6: Air Bersih dan Sanitasi Layak dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyelenggarakan Konferensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) 2019 dengan tema “Menuju Layanan Sanitasi dan Air Minum yang Aman, Inovatif dan Berkelanjutan untuk Semua” di Jakarta, Senin (2/12/2019).
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pemerintah akan fokus meningkatkan akses sanitasi dan air minum yang aman dan berkelanjutan bagi masyarakat. Strategi ini akan berkontribusi secara signifikan bagi upaya Indonesia untuk meningkatkan capaian Tujuan 6: Air Bersih dan Sanitasi Layak, utamanya Target 6.1 Akses Air Minum Aman yang Universal dan Merata, Target 6.2 Akses Sanitasi Layak yang Universal dan Setop Buang Air Besar Sembarangan (BABS), serta Target 6.3 Pengurangan Air Limbah yang Tidak Diolah.
Untuk air minum layak, Indonesia telah berhasil meningkatkan akses layak dari 82,14 persen di 2011 menjadi sebesar 87,75 persen di 2018. Namun, baru 20,14 persen yang merupakan akses air minum (air bersih) perpipaan, sisanya dilakukan dengan swadaya (self-supply). Akses air minum secara swadaya bukan merupakan akses yang ideal karena sulit dipastikan kualitas dan kontinuitasnya, serta berdampak besar terhadap lingkungan seperti memicu berkurangnya cadangan air tanah dan turunnya permukaan tanah. Sementara itu, akses air minum aman, di mana kualitas air sudah memenuhi syarat untuk diminum, proporsinya saat ini baru mencapai 8,5 persen (Survei Kualitas Air di DIY tahun 2015).
Secara agregat, dari 2010 hingga 2018, akses air sanitasi layak meningkat sekitar 1,4 persen per tahun, angka BABS di tempat terbuka turun sekitar 1,2 persen per tahun, akses air minum layak meningkat sekitar 0,5 persen per tahun, sementara akses perpipaan meningkat sekitar 1 persen per tahun. Untuk itu, KSAN 2019 berperan untuk pemetaan isu dan penyusunan rekomendasi atas penyediaan akses air minum dan sanitasi layak, termasuk tantangan sanitasi rumah tangga hingga angka rumah tangga dengan pengelolaan limbah domestik aman yang saat ini baru mencapai 7,42 persen.
“Air limbah domestik yang tidak dikelola dengan aman akan mengakibatkan penurunan kualitas air permukaan dan air tanah yang menjadi sumber air minum. Untuk air minum yang layak, Indonesia telah berhasil meningkatkan akses layak dari 82,14 persen di 2011 menjadi 87,75 persen di 2018. Indonesia saat ini juga telah berhasil meningkatkan akses sanitasi air limbah domestik dari 58,44 persen pada 2011 menjadi 74,58 persen pada 2018 dan menurunkan tingkat praktik BABS di tempat terbuka dari 19,39 persen pada 2011 menjadi 9,36 persen di 2018,” ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa.
Sanitasi dan air minum rumah layak huni
Di tingkat nasional, rumah tangga yang memiliki akses sanitasi dan air minum layak sebagai 2 dari 4 indikator rumah layak huni, baru mencapai 54 persen pada 2018. Agar capaian akses air minum dan sanitasi yang cukup tinggi dapat memicu peningkatan akses rumah layak huni tersebut, Pemerintah Indonesia akan menyelaraskan pemenuhan kebutuhan air minum dan sanitasi dengan penyediaan rumah layak huni, baik dari sisi program maupun lokasi. Selain itu, kebutuhan pendanaan yang besar untuk memenuhi target akses sanitasi dan air minum juga menjadi tantangan. Hingga 2024, dibutuhkan pendanaan total untuk pembangunan sanitasi dan air minum sebesar Rp 404 triliun.
Pada RPJMN 2020–2024, pemerintah akan fokus untuk meningkatkan target akses sanitasi dan air minum yang aman dan berkelanjutan, yaitu sebesar 90 persen akses sanitasi layak, termasuk di dalamnya akses aman sebesar 20 persen dan praktik BABS menurun hingga 0 persen. Ada pula target 100 persen akses air minum layak yang didukung dengan penyediaan akses air minum perpipaan sebesar 30 persen melalui pembangunan 10 juta sambungan rumah tangga, termasuk di dalamnya akses air minum aman sebesar 15 persen.
Akses air bersih dan sanitasi sebagai upaya cegah stunting
“SDM unggul itu harus memiliki kesehatan yang baik yang faktor utamanya adalah memiliki akses terhadap air bersih serta sanitasi yang layak. Ketiadaan sanitasi dan air bersih merupakan awal dari munculnya persoalan kesehatan dalam masyarakat kita, seperti stunting, yang saat ini menjadi prioritas pemerintah untuk ditangani. Prevalensi stunting walaupun sudah turun selama pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama, dari 37,2 persen pada tahun 2013 menjadi 27,7 persen pada tahun 2019, namun masih sangat jauh dari yang kita harapkan, sasaran kita dalam RPJMN adalah menjadi 19 persen pada tahun 2024. Upaya penurunan prevalensi stunting sangat terkait dengan tersedianya sanitasi dan air bersih yang memadai,” ujar Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin saat membuka KSAN 2019.
Absennya akses air bersih dan sanitasi juga berpotensi menyebabkan persoalan serius lainnya, seperti angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan di Indonesia masih berkisar 305 per 100.000 kelahiran hidup, jauh tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lain yang berkisar antara 40 sampai 60 per 100.000 kelahiran hidup. Beberapa perilaku seperti tidak mencuci tangan karena tidak tersedianya air bersih saat penanganan persalinan dan setelah melahirkan, sampai saat ini masih menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Sementara itu, Angka Kematian Bayi (AKB) kurang dari 1 tahun di Indonesia adalah 24 per 1.000 kelahiran, jauh di atas angka di Malaysia sebesar 6,7 per 1.000 kelahiran, dan di Thailand 7,8 per 1.000 kelahiran. Perilaku sederhana seperti mencuci tangan dengan air bersih saat akan memberikan makan kepada anak atau saat setelah buang air besar adalah beberapa perilaku yang harus didorong untuk mengurangi angka kematian bayi tersebut.