Sanitasi air di wilayah Jakarta termasuk yang terburuk di dunia. Berdasarkan penilaian Dewan Sumber Daya Air (SDA), sanitasi air di Jakarta yang dikelola dengan baik hanya mencapai 2,7%. Anggota Dewan SDA DKI Jakarta Firdaus Ali mengatakan, angka 2,7% ini merupakan yang terburuk di antara negara-negara dengan penduduk 5 juta jiwa di dunia. Buruknya layanan sanitasi di Indonesia menimbulkan kerugian Rp 58 triliun per tahun. Target Tujuan Pembangunan Milenium bahwa 62 persen keluarga Indonesia memiliki akses sanitasi hanya akan tercapai jika pertumbuhan layanan sanitasi dipercepat empat kali lipat.
Ketertinggalan Indonesia di sektor sanitasi cukup besar, dan diabaikannya sektor sanitasi selama beberapa puluh tahun menyebabkan cakupan sanitasi sangat rendah. Investasi dalam bidang sanitasi sangat kecil, kalau tidak dikatakan hampir tidak ada. Investasi saat ini untuk pengembangan sanitasi diperkirakan hanya Rp200/orang/tahun, lebih rendah dari yang dibutuhkan sebesar Rp40,000/orang/tahun. Buruknya sanitasi ini menyebabkan kerugian terhadap ekonomi Indonesia sebesar 6,3 milyar dolar AS setiap tahun pada tahun 2006, ini setara dengan 2.3% Produk Domestik Bruto (PDB) kita.
Sanitasi adalah sektor prasarana yang tanggung jawab pengadaan sarananya sudah diserahkan ke pemerintah provinsi, dan kota/kabupaten. Akan tetapi sebagian besar pemerintahan kota dan kabupaten belum menganggap sanitasi sebagai prioritas pembangunan di daerahnya. Selain investasi dalam sektor sanitasi amat tinggi, kurangnya dukungan politis dan tidak adanya visi jangka panjang merupakan penyebab utama rendahnya kinerja sektor ini. Para Gubernur, walikota dan bupati tidak merasa bahwa sanitasi merupakan hal yang mendesak, dibandingkan dengan masalah kemiskinan atau ketenagakerjaan
Direktur Utama Perusahaan Daerah Pengolahan Air Limbah (PAL) Jaya Liliansari Loedin menyatakan, 82 persen sungai di DKI Jakarta tercemar berat sepanjang tahun karena buruknya sanitasi di Jakarta. Dari 75 sumur yang dipantau di DKI Jakarta, kandungan bakteri ecoli 38 sumur melebihi baku mutu.
Sebuah studi yang dilansir pada 2004 oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan hampir sebagian besar sumur dari 48 sumur yang dipantau di Jakarta telah mengandung bakteri coliform dan fecal coli. Persentase sumur yang telah melebihi baku mutu untuk parameter coliform di seluruh Jakarta cukup tinggi, yaitu mencapai 63 persen pada bulan Juni dan 67 persen pada bulan Oktober 2004.
Kualitas besi (Fe) dari air tanah di wilayah Jakarta terlihat semakin meningkat, di mana beberapa sumur memiliki konsentrasi Fe melebihi baku mutu. Persentase jumlah sumur yang melebihi baku mutu mangan (Mn) di seluruh DKI Jakarta secara umum sebesar 27 persen pada bulan Juni dan meningkat pada bulan Oktober sebesar 33 persen. Untuk parameter detergen, persentase jumlah sumur yang melebihi baku mutu di DKI Jakarta sebesar 29 persen pada bulan Juni dan meningkat menjadi 46 persen pada bulan Oktober.
Umumnya, air sumur yang didapat berwarna kuning dan agak berbau. Ditambah lagi, hanya 400 dari sekitar 4,000 industri di Jakarta yang mengelola limbahnya. Tidak ada sistem sanitasi di Jakarta sehingga air limbah seluruhnya dibuang ke sungai. Hanya sekitar dua persen saja air limbah di Jakarta mengalir ke instalasi pengolah air limbah, yang umumnya hanya melayani gedung perkantoran dan sejumlah perumahan. Dan sekitar 39 persen warga Jakarta memiliki septic tank, dan 20 persen menggunakan lubang WC biasa.
Cakupan layanan air limbah di DKI hanya sekitar 2,7%. Selebihnya, 97,3% belum memiliki sistem pengelolaan air dengan baik, masuk ke dalam tangki septik, atau langsung dibuang ke sungai dan perairan terbuka. Sehingga para ahli lingkungan menyebut Jakarta sebagai kota “sejuta septic tank”, dan sungai-sungai di Jakarta adalah “jamban terpanjang di dunia.”
Menurut Direktur Pemukiman Perumahan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Basah Hernowo, di Jakarta, beberapa waktu lalu, sejumlah fasilitas sanitasi seperti mandi, cuci, kakus (MCK), truk tinja, saluran air limbah (sewerage system), dan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), sudah banyak yang tidak memadai. Kasus ini juga terdapat di wilayah Jakarta Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Kasubdit Air Minum dan Air Limbah Bappenas, Nugroho Tri Utomo, menambahkan, dari keseluruhan air limbah yang masuk ke selokan atau menjadi air tanah, sekitar 40-50 persen merupakan limbah rumah tangga (domestik).
Kondisi ini diperparah dengan kondisi sejumlah septic tank rumah tangga yang tidak dibangun dengan benar, sehingga sebagian tinja meresap ke tanah dan tercampur dengan air tanah. Sementara, jarak septic tank dengan air tanah yang disedot untuk kebutuhan harian sangat dekat. Karena minimnya fasilitas sanitasi, kasus penyakit menular mulai bermunculan. Mulai dari diare, demam berdarah hingga polio. Imbasnya lebih jauh, mengurangi minat investor berinvestasi ke Indonesia.
Pada umumnya masyarakat menggunakan septic-tank di rumahnya, namun kondisinya tidak terpantau dan kemungkinan besar mengalami kebocoran serta mencemari air tanah dan air permukaan (studi internal World Bank 2006). Selain kondisi pengolahan air limbah rumah tangga landed houses yang memprihatinkan, kondisi fasilitas hunian vertikal pun belum baik. Dari 114 gedung apartemen yang terdaftar di BPLHD DKI Jakarta, lebih dari 50% tidak memiliki fasilitas pengolahan air limbah (data wawancara Prathiwi, 2010). Secara kasar dapat diperkirakan bahwa sekitar 85% grey water (air kotor domestik non-tinja) dan sekitar 60% black water (air kotor domestik mengandung tinja) Jakarta tidak terolah dan dibuang begitu saja ke badan air dan tanah.
Sanitasi sendiri adalah suatu proses multi-langkah, dimana berbagai jenis limbah dikelola dari titik timbulan (sumber limbah) ketitik pemanfaatan kembali atau pemrosesan akhir. Subsektor sanitasi adalah:
a. Air limbah: tinja, urine, air pembersih, material pembersih, air bekascucian& dapur dsb.
b. Sampah:sampah rumah tangga (sampah dapur, plastik, kaca, kertas, dan lain-lain); sampah medis, sampah industri, dan lain sebagainya.
c. Drainase tersier, selain mengalirkan dan menampung limpasan, juga melakukan hal yang sama untuk air limbah rumah tangga (umumnya berupa grey water) dan air limbah lainnya.
Solusinya:
1. Perlu membuat dan merealisasikan rencana pengelolaan sanitasi terpadu, meliputi pengelolan air limbah, dan sampah rumah tangga.
Sebenarnya master-plan air limbah DKI Jakarta pasca kemerdekaan telah ada sejak 1977. Master-plan pertama ini secara prinsip telah mengakomodasi baik sistem terpusat maupun setempat/lokal untuk seluruh area DKI Jakarta kala itu. Walau demikian pada saat itu, rencana pembangunannya hanya melingkupi dua kelurahan. Sebagian dari Master-plan 1977 tersebut dibangun pada 1983, yaitu pada area yang sekarang dilayani oleh sistem gorong-gorong terpusat. Jadi, dalam waktu nyaris 30 tahun, DKI Jakarta hanya sanggup membangun gorong-gorong air kotor dan pengolahannya hanya untuk 3% luas areanya.
2. Perlu membangun sistem pemipaan skala kota yang terencana dengan baik untuk menangani air limbah, agar bisa di daur ulang atau dikurangi kadar polutannya agar tidak mencemari lingkungan.
3. Merumuskan regulasi tentang pengelolaan Air Limbah
4. Mengoptimalkan fasilitasn pengelolaan limbah seperti IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah)
5. Mengawasi buangan limbah industry agar sesuai baku mutu lingkungan
6. Mendorong industry agar segera merealisasikan IPAL
7. Sosialisasi kepada masyarakat pentingnya memperhatikan sanitasi lingkungan